DUA: Seseorang dari Masa Lalu

190 26 2
                                    

02 | SESEORANG DARI MASA LALU

*

Kupakai jaket abu-abuku. Semakin malam udara Malang semakin dingin saja. Kak Larissa mengajakku dan Gressha keluar. Katanya mau makan sate ayam di kedai langganannya yang tidak jauh dari rumah Nenek. Karena kedainya dekat kami pun jalan kaki ke sana.

Asap sate bertebaran ke mana-mana. Aromanya yang khas membuat perutku samakin keroncongan. Setelah beberapa menit menunggu sate pesanan kami diantar. Seorang pemuda bertubuh tinggi datang dengan tiga piring sate pesanan kami. Sorot matanya tajam. Aku seperti merasa familiar dengan hidung bangir, bibir tipis yang nyaris berwarna merah dan alis tebal orang itu. Kutatap pemuda itu lekat-lekat. Hal yang sama ia lakukan padaku. Aku masih berpikir keras melihat kalung berbandul gembok di lehernya. Kurasa, aku memiliki kalung yang ada kuncinya untuk kalung itu.

"Rissa...," namaku tiba-tiba keluar dari mulutnya.

Suara itu.. Sekarang aku mengingatnya.

"Kamu... kamu Angga," pekikku tak percaya.

"Iya. Apa kabar?" katanya dengan mata berbinar.

"Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri?" tanyaku.

"Alhamdulillah, aku juga baik." Angga tersenyum. "Ngomong-ngomong, sedang apa kamu di sini?" Ia melihatku seperti mesin scanner, memindai dari atas ke bawah.

Aku terus menampakkan senyum padanya. "Oh. Aku. Aku dan saudara-saudaraku lagi liburan di rumah Nenek, Ngga. Nggak jauh kok dari sini."

"Hmm." Angga menanggapinya dengan gumaman.

"Ternyata kamu pindah ke sini ya! Di mana kamu tinggal?" tanyaku setelah cukup lama saling berpandangan.

"Rumahku di belakang kedai ini. Kedai ini milik Pakdeku. Baru-baru ini aku membantunya berjualan sate di sini, soalnya karyawan yang biasa bantu-bantu di sini beberapa hari ini pulang ke kota asalnya. Nggak tahu kapan kembalinya."

"Ooo...," gumamku sambil mangut-mangut.

"Ris, minta nomor hape dong!" Angga menyodorkan ponselnya padaku. Aku mengambilnya dan segera memasukkan nomerku sebelum kukembalikan.

"Ya sudah ya, Ris. Pakdeku manggil. Pesenan satenya lagi banyak nih, nanti kamu kuhubungi!" katanya kemudian berlalu.

Seporsi sate ayam yang tersaji di meja pun segera kumakan. Gressha yang sedari tadi diam sambil memakan satenya angkat bicara,

"Kak Mar, bukannya dia cowok yang ngejar-ngejar Kakak ya waktu MTs?" selorohnya.

Aku mengerutkan dahi mendengar kata-katanya. "Apaan sih kamu. Dia itu sahabatku dulu, Gres," kataku.

"Alah.. memang ya, Kakak aja yang nggak peka kalau dia suka sama Kakak. Lihat aja bagaimana dia mandangin Kakak!" kata Gressha sambil mengarahkan dagunya ke Angga yang kebetulan melihat ke arah kami dari jauh. "Ganteng sih sebenernya... tapi masih ganteng Amiq." Gressha kembali memakan daging sate dari tusuknya.

Aku mencebik meladeninya.

Memang sih Angga dulu suka padaku. Meski ia tak pernah mengatakannya. Waktu itu aku mengetahuinya dari coretan di bukunya, juga kata sepupunya. Tapi, masa' iya sampai sekarang ia masih menyukaiku. Mustahil! Semoga apa yang dikatakan Gressha itu tidak benar. Kulanjutkan makanku, meski kemudian aku tidak bisa menikmati kelezatannya.

*

"Nek, Marissa boleh tidak ikut Nenek sama Kak Larissa belanja ke pasar?"

"Boleh. Tapi Gressha ndak kamu ajak sekalian, Nduk*?"

"Tadinya sudah Marissa ajak. Tapi Gressha tidak mau," kataku.

With Luv (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang