12. DIA YANG SEDERHANA

Mulai dari awal
                                    

“Enggaklah Bams,” Jordan menoleh pada Bams. “Cantik sama ganteng bukan tolak ukur kesuksesan seseorang,” ujar Jordan santai.

****

Ketika sampai di depan LAB. Jihan tidak berani masuk. Perempuan itu hanya terpaku di depan jendela sambil menatap Septian dan Thalita. Keduanya sedang menggunakan jas putih LAB sambil menerangkan sesuatu pada adik-adik kelasnya karena hanya ada dua bintang emas di dasi mereka yang menandakan bahwa mereka masih kelas sebelas. Rasa tidak percaya diri itu kembali muncul pada Jihan.

Septian. Bisakah suatu hari nanti laki-laki itu membalas perasaannya?

Atau jangan jauh-jauh. Bisakah suatu saat nanti laki-laki itu menyadari keberadaannya?

“Ngapain enggak masuk?” suara itu membuat Jihan terkejut dan menoleh.

“Enggak ah, enggak berani. Takut ganggu,” ujar Jihan pada Zaki.

“Ah karena Thalita ya?” ujar Zaki. Bahkan Zaki saja sadar. Tapi memang Jihan namanya yang enggak tahu malu. Perempuan itu mengangguk tanpa melihat ada senyum geli di bibir Zaki.

“Dia pernah suka sama Septian. Waktu dulu kan pernah heboh karena dia nolak lo trus nolak Thalita juga,” ujar Zaki. “Kayanya sampe sekarang Thalita masih suka sama Septian,” ujar Zaki.

“Tau dari mana?” tanya Jihan. Perempuan ini menatap Zaki dengan tatapan polos. Zaki yang ingin bercerita lebih banyak jadi tidak tega. Perempuan ini pasti perempuan yang baik. Masih lugu dalam hal cinta padahal Jihan itu cantik. Pasti masih banyak murid lelaki yang suka sama Jihan. Zaki saja suka melihat perempuan seperti Jihan. Masa Septian tidak?

“Keliatan aja,” jawab Zaki singkat.

“Iya yah? Keliatan,” ujar perempuan itu mendadak sedih.

“Kayanya dibanding sama gue. Thalita lebih cocok sama Septian. Dia pinter, cantik, baik. Sering ke mana-mana sama Septian. Sementara gue? Kerjaan gue kan cuman ngerusuhin sama ngerepotin Septian.”

“Masih pagi jangan galau,” ujar Zaki. Cowok itu mengacak rambut Jihan.

“Jangan cepet gak PD gitu. Siapa tau aja Septian suka sama lo kan?”

“Gue udah lama ngejar-ngejar Septian. Setelah liat gimana kedeketan Thalita sama Septian gue jadi mikir. Apa sebaiknya gue berhenti aja kali ya buat dapetin Septian? Kayanya bakal sia-sia. Soalnya saingan gue berat banget.”

“Yaudah ayo pergi,” ujar Zaki. “Kalau enggak mau sakit hati mending enggak usah tau.”

****

Jihan merasa asing. Atau lebih tepatnya Septian menjauhinya. Cowok itu tidak mau melihatnya. Bahkan ketika Jihan menyapanya cowok itu hanya menoleh sebentar lalu duduk di kursi panjang kantin anak-anak Ravispa dengan raut datar. Apa karena kejadian kemarin? Yaiyalahhh Jihan!! Bego banget sih?

“Lo yang bikin Septian sama Oji berantem?” ujar Mauren ketika perempuan itu datang ke kantin.

“Lo tau dari mana?” ujar Jihan pada Mauren ketika cewek itu duduk di depannya. Berdua dan berhadap-hadapan.

“Gue ngeliat luka di mukanya Septian sama Oji. Oji sampe susah jalan. Gue tau dari Guntur,” ujar Mauren.

“Gue enggak bermaksud bikin mereka berantem,” ujar Jihan.

“Siapa sih lo sebenernya? Sampe bisa bikin mereka berantem?” ujar Mauren. Tenang namun penuh kecaman.

“Gue bener-bener enggak bermaksud Ren,” ujar Jihan. Perempuan itu masih terbayang saat Mauren mengajaknya ke markas Avegar beberapa hari lalu. Kalau tidak ada Bams dan Septian. Sudah pasti Jihan tidak akan selamat.

SEPTIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang