BAB 18 - RUMAH POHON

300 30 0
                                    

Sepanjang jalan Jakarta - Bandung membawa perasaan yang tak menentu. Rasa  rindu yang kerap ingin bertemu dengannya, mendadak berubah menjadi rasa cemas nan khawatir. Bagaimana kalau nanti Brian marah padaku? Ah, sial sekali.

Padahal Brian sudah menyiapkan segalanya untukku, tapi kenapa aku malah menghancurkan kebahagiaan yang kami buat sendiri? Mengapa aku tak tolak saja penawaran Arsen yang akan mengantarkanku ke sana?

Lelaki itu melirik ke arahku dengan cermat. Ia melihat ada ketakutan dalam diriku.

"Rai ..." ucapnya dengan lembut.

Aku terbata-bata. "Kk–kenapa?" tanyaku gugup.

"Kamu takut kalau Brian akan marah padamu?" Lelaki itu seperti tau apa yang aku maksud. Ya, memang benar aku takut Brian marah akan kehadiran Arsen yang mengantarkanku, padahal Brian juga sudah meminta Pak Adi untuk menjemputku, naasnya, Arsen datang lebih dulu.

"Rai, kenapa kamu takut?"

Kenapa aku takut? Jelas saja, yang bersama ku sekarang bukan kekasihku, melainkan lelaki lain. Lelaki mana yang tak marah jika perempuannya akan bertemu dengannya, tapi malah diantarkan oleh lelaki lain? Aku merutuki diriku sendiri lagi-lagi. Bodoh sekali, Raina.

"Kenapa kamu takut?" tanya lelaki itu tanpa ampun, hingga membuatku terdiam kaku.

"Aku tanya, Rai. Kenapa kamu takut?"

Aku menoleh ke arahnya dengan getaran emosi dari tubuhku."Bagaimana bisa aku gak takut, Arsen? Pasti Brian marah, Brian cemburu!" gerutuku.

Pandangan Arsen masih fokus ke arah depan. "Rai, kamu bilang Brian gak pernah marah sama kamu."

"Ya, emang dia gak pernah marah. Dia gak tega memarahiku, katanya." ucapku spontan.

"Lalu, kenapa kamu takut ia marah padamu akan hal ini?"

"Ini lain cerita, Arsen—"

"Rai," ucapnya pelan tapi sedikit tegas.

Ia menghembuskan nafas gusar. "Bukankah Brian akan berterima kasih padaku, karena sudah mengantarkan Tuan Puteri nya sampai ke tempat tujuan dengan selamat?"

Aku termenung memikirkan hal itu. "Maksudnya?"

"Aku berani mengantarkan mu, karena dari yang kamu ceritakan kalau Brian itu gak pernah marah apalagi ini menyangkut kesalamatan kamu, apa ia akan marah juga?"

Ia memelankan gas mobilnya, lalu menghentikkan mobil itu sejenak. Lelaki aneh yang ku temui tiga tahun lalu dengan sikap annoying, tiba-tiba mendadak tegas.

"Begini, kalau aku jadi Brian. Aku gak akan marah, malah aku berterima kasih. Karena dia udah nganterin pacarku dengan selamat untuk bertemu dengannya. Kalau kamu naik bus, dan ternyata supirnya mengantuk, keselamatan mu terancam, siapa yang akan aku marahi?"

Aku menggeleng masih tak mengerti apa yang ia bicarakan. "Ini bukan perkara selamat sampai tujuan, tapi perkara dia gak mau kalau melihat aku dengan lelaki lain, kamu ngerti, Arsen?

Ia tertawa dengan pelan. "Ck, kalau begitu Brian gak dewasa. Brian yang sering kamu ceritakan itu, cuma lelaki yang possesive dan cemburuan." celaknya.

Aku membulatkan bola mataku, sembarangan saja mengata-ngatai Brian. "BUKAN GITU!!! BRIAN GAK KAYAK GITU!"

"Kalau kita ada hubungan spesial, baru Brian boleh cemburu. Kita ini cuma teman, 'kan, Raina? Untuk apa Brian cemburu?"

Benar saja, aku dan Arsen ini cuma teman sekampus. Wajar saja ia menemaniku sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bandung, lagi pula untuk apa Brian marah karena aku bersama dengan seorang teman?

ETHEREAL (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now