Bagi sebagian orang, mungkin proses interview melamar pekerjaan merupakan sesuatu yang menyenangkan.
Tapi tidak bagiku, aku yang kadar paniknya suka melebihi rata-rata, menganggap interview adalah sebuah momok yang menakutkan.
Bagaimana kita berinte...
"Siang, Mbak. Saya ada jadwal interview dengan Ibu Marina hari ini." kataku ketika tiba di meja resepsionis perusahaan.
"Untuk jam sepuluh ya? Silakan isi formulir dulu ya, Mbak. Mbak bisa tunggu di depan." jawab resepsionis itu ramah sambil mengarahkanku untuk duduk di sofa lobi.
Aku melihat ada satu orang perempuan berjilbab yang juga sedang mengisi formulir, sepertinya dia sainganku.
Hmm... anak bau kencur nih kayaknya baru lulus kuliah, batinku songong.
Setelah menyelesaikan mengisi formulir yang menurutku sangat tidak efisien itu dan mengembalikan pada resepsionis, aku kembali menunggu. Sambil menunggu, aku melihat beberapa karyawan berseliweran, sesekali aku tersenyum ketika pandangan mataku bertemu dengan mereka.
Ella Muzdalifah : Woi, kemana lo nggak keliatan?
Xia Andro : Sakit, Mbak.
Ella Muzdalifah : Ke dokter ya? Dokter Wawan apa dokter Tatang? *
Xia Andro : Ih, apaan sih lo, Mbak. Beneran gue lagi diare nih, ini aja lagi ngebom di kamar mandi, apa perlu gue potoin? 💩🤪
Ella Muzdalifah : Najis! Udah ah, gue lanjut kerja aja. Gws ye!
Ella bisa banget kepikiran aku lagi interview, emang ya emak satu itu udah seperti cenayang saja. Aku langsung memasukkan ponselku ke dalam tas.
Kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya namaku dipanggil. Aku hampir saja mengantuk saking bosannya menunggu.
"Galexia Andromeda..." panggil seorang perempuan muda yang baru saja keluar dari dalam ruangan. Aku langsung berdiri dan menghampirinya.
"Saya Marina, yuk masuk. Ibu Anjani sudah menunggu di dalam."
Loh?
Bukannya aku interviewnya sama Marina ya, berarti harusnya sama perempuan yang berjalan di sebelahku ini dong?
"Bukannya sama Mbak Marina ya?"
Perempuan itu tertawa, "Iya. Harusnya emang sama saya sih, tapi tadi tiba-tiba bos saya itu meminta untuk interview langsung. Saya aja juga heran."
"Oh, gitu ya. Hehehe." Alamakjang! Bosnya yang mau interview? Gue makin grogi nih!
"Mbak... Kok perasaan saya nggak enak ya?"
"Ahaha, kamu nyantai aja. Mungkin Bu Anjani cuma pengen merefresh otaknya siapa tau dengan interview orang bisa mengurangi kemumetannya."
Alamat nggak bagus buat gue ini. Ya Allah, apakah ini pertanda buruk buatku?
Ketika sampai di depan ruangan yang dituju, Marina mengetuk dan membukakan pintu untukku. Aku kemudian masuk dan bersalaman dengan wanita yang kutaksir usianya mungkin hampir lima puluh tahun tapi masih terlihat segar.
Tapi aku langsung jiper ketika melihat papan nama yang terletak di mejanya.
Anjani Purnama - HR Director
What?!!! Director?
Ngapain direktur buang-buang waktu buat interview gue yang cuma ngelamar buat posisi cungpret?!
Perasaan gue nggak enak, anjir! Apakah ini ada hubungannya sama Darren, secara Darren kan manager HR.
Wanita tua itu menyuruhku duduk dan memperkenalkan diri serta memintaku bercerita tentang diriku.
Setelah penjelasan singkat mengenai diriku, aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya mengenai kegundahan yang dari tadi kurasakan.
"Maaf, Bu. Saya boleh nanya sesuatu nggak?" tanyaku hati-hati.
"Silakan."
"Apa Ibu mengira saya melamar pekerjaan untuk posisi Manager?" Wanita itu menaikkan sebelah alisnya.
"Soalnya dilihat dari jabatan Ibu yang tinggi masa Ibu interview saya yang cuma cungpret ini?" Aduh, bahasa gue apa sih, nggak profesional banget. Dasar mulut kampret! Aku memukul mulutku yang dengan kurang ajarnya berbicara kata-kata aneh.
Ibu Anjani tertawa terbahak-bahak, katanya aku ini lucu. Apanya yang lucu sih, orang grogi setengah mati begini sampe perut mules nahan kentut, malah dibilang lucu.
Dalam sekejap, ekspresinya berubah kembali menjadi serius. Waduh, apa jangan-jangan dia melihat wajahku yang bersungut ya?
"Emang masalah buat kamu kalau saya meng-interview seseorang dengan posisi staf biasa?"
"Nggak, Bu. Maaf ya bu kalau saya salah berbicara. Ibu kan bosnya." Pasal satu, bos selalu benar. Jika bos salah, kembali lihat pasal satu.
Ibu Anjani kembali membolak-balik lembaran aplikasi lamaranku, kemudian ia bertanya hal yang lain lagi seputar pengalaman kerjaku dan apa alasan aku ingin bekerja disana padahal aku masih dalam status bekerja di perusahaan lain.
Akhirnya, tak terasa sudah satu jam lebih aku berinteraksi dua arah dalam sesi interview kali ini, padahal ini baru di tahap interview dengan HRD loh, gimana coba nanti pas interview dengan User?
Semoga saja ada kabar baik dari perusahaan ini, meskipun tiga hari lagi aku harus cari alasan lain untuk ijin tidak masuk kerja.