42. Ternyata

22.6K 2.4K 143
                                    




Ini sudah hari Minggu dan Darren sama sekali tidak mencariku sejak jumat kemarin. Aku benar-benar kesal sekarang, harusnya kan aku yang marah tapi kenapa malah dia yang menghilang. Apa dia sibuk dengan perempuan yang jumat malam kemarin kulihat di ponselnya Lala itu? Apa dia sudah bosan pada hubungan sembunyi-sembunyi kami ini?

Sial!

Aku mengingat kembali ucapannya dua bulan lalu saat memintaku untuk mengenalkannya pada Papaku dan memproklamirkan hubungan kami kembali kepada keluargaku. Gila aja! Baru ketemu Mama saja sudah dapat respon tidak bagus, apalagi bertemu Papa nanti?!

"Aku nggak bisa terus-terusan harus ngumpet begini, Sayang."

"We have no choice. Begitu banyak resiko yang terjadi kalau kita umumkan. Di kantor, harus ada yang resign diantara kita. Di keluargaku lebih susah lagi, apalagi dengan cerita masa lalu kamu. Nggak mudah, Darren."

"Aku ingin hubungan yang normal! Aku ingin posting kemesraan kita berdua di sosial media. Aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa kamu itu milikku."

"Aku cuma bisa meminta kamu sabar. Maaf kalau harus begini."

"Mungkin semua akan menjadi lebih mudah kalau orang itu Raffa."

"Jangan ngomong gitu!"

Darren sempat mendengar ucapan Mamaku yang berkata bahwa beliau lebih setuju pada Raffa ketimbang dirinya ketika masih awal-awal pacaran. Sejak malam itulah aku dan Darren menjalani hubungan backstreet hingga saat ini. Untungnya aku bisa meyakinkannya bahwa Si Kampret satu itu tidak perlu diperhitungkan, dia hanya seekor Kampret, tidak berarti apa-apa.

Aku berguling-guling tak tentu arah di atas kasur. Apa jangan-jangan dia mulai menyerah?

Ah, kampret! Pusing gue!

Auk ahh! Daripada pusing mendingan gue ke mall. Bodo amat, dia aja nggak mikirin gue, ngapain gue mikirin dia!

Aku mengganti baju lalu bersiap-siap ke mall untuk sekedar berputar-putar tak jelas, siapa tau ada barang lucu yang bisa kubeli dan membuatku melupakan masalah ini.

Aku sengaja pergi sendiri dan tak mengajak Lala ataupun menyeret Alde, bisa bangkrut kalau ajak mereka karna pasti harus ada upeti yang kukeluarkan untuk mentraktir mereka. Masih tanggal tua, nasib pegawai.

Puas berkeliling dan menenteng beberapa kantong belanja, aku memutuskan untuk makan di salah satu restoran fastfood di mall tersebut.

"Galexia...?" tepukan di bahu membuatku menoleh ke samping.

"Alma..." Alma adalah salah satu temanku semasa SMA.

"Beneran Galexia? Omg, lo kurus sekarang, gimana ceritanya? Apa kabar?" tanyanya sambil mencium pipi kanan dan kiriku.

"Baik. Ya gitu deh, diet. Hehe." jawabku mesem-mesem. "Anak lo?" tanyaku melihatnya yang sedang menggendong balita yang mungkin berusia satu tahun yang sedang tertidur.

"Iya. Pas semester akhir gue nikah. Sorry ya nggak ngundang, cuma keluarga doang soalnya." Alma mengambil duduk di depanku. Ia lalu menunjuk suaminya yang sedang mengantri memesan makanan untuk take away.

"Iya, nggak apa-apa. Ya ampun, udah lama banget ya? Sekarang lo di Jakarta?" tanyaku, Alma dulu pindah sekolah ke Bandung saat kelas dua.

"Nggak, masih di Bandung kok. Gue lagi maen aja ke rumah Mertua, nanti malem balik lagi."

Seru banget ya kayaknya umur segini udah gendong anak. Eh, mikir apa sih gue?!

"Gimana sama si itu? Jadian nggak akhirnya?" tanyanya sambil mengerlingkan mata.

INTERVIEW (END) - revisedWhere stories live. Discover now