8. Penampilan Baru

22 7 6
                                    

Hari ini ada yang berbeda dari hari sebelumnya. Dila, penampilan gadis itu kembali menjadi perbincangan siswa-siswi. Dengan seragam barunya, ia menggerai rambut panjangnya. Sangat berbeda. Tak ada lagi penampilan culun seperti sebelumnya. Ia mulai berubah.

"Cantik juga kalo gini,"

"Ah, cantikan juga gue,"

"Masih kece an penampilan geng nya Aura lah,"

"Nyesel gue sia siain dia,"

Dila hanya tersenyum mendengar komentar dari siswa-siswi.

***

Anggi nampak tak bersemangat lagi. Wajahnya murung dan kesal.

"Anggi, sebenernya kamu kenapa sih?" tanya Mita yang jengkel melihat Anggi.

"Jangan diem aja! Kita nggak bakal peka!" seru Andin.

"Tanya aja sama dia," jawab Anggi melirik ke arah Bella.

"Aku? Kenapa?" Bella bingung saat Anggi meliriknya.

"Kenapa sih Nggi?" tanya Aura.

"Kamu pulang dianter Dafa kan?" tanya Anggi tajam.

"Iya, cuma dianter," jawab Bella santai.

"Aduh duh, ternyata si Anggi cemburu toh pacar kesayangannya nganter sahabatnya," ujar Hanifah sambil menahan tawa.

"Yakin cuma dianter?" tanya Anggi yang masih menatap Bella tidak yakin.

"Anggi, aku dianter karena nggak ada yang jemput, lagian Dafa itu pacar kamu, masa aku ngapa-ngapain sama dia," jawab Bella menjelaskan.

Anggi menghela napas lega.

"Iya deh, kan aku cuma takut kalau Dafa berpaling," jawab Anggi menyengir lebar. Para sahabatnya hanya menatapnya malas.

"Pagi semua," sapa seseorang yang baru datang.
Semua siswa menatapnya melongo. Ketujuh gadis itu terkejut. Dila yang mendapat tatapan seperti itu tersenyum senang. Ia berjalan ke tempat duduknya.

"Parah parah, itu Dila kan?" ucap Mita tak percaya.

"Gimana? Bagus nggak?" tanya Dila.

"Cantik, Dil, kenapa nggak dari dulu sih," ujar Anggi yang membuat Dila semakin senang dan percaya diri.
Mulai saat ini, ia akan mengubah penampilannya mengikuti gaya hidup orang Jakarta. Dan ia bisa lebih terkenal dari ketujuh gadis itu.

Krriiinggg!

"Baik anak-anak, kelas seni hari ini adalah melukis. Dan berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini lukisan terbaik akan saya kirim untuk pameran seni di Jakarta Hall," ujar Bu Ririn selaku guru seni budaya. Umurnya masih 26 tahun, wajahnya yang cantik membuat tak sedikit siswa yang menggodanya.

"Aduh bu, saya nggak pinter kalo suruh ngelukis kayak gitu, saya pinternya melukis wajah ibu di hati saya," ujar Fait,atau yang kerap disapa Iit, salah satu siswa yang senang menggoda Bu Ririn. Seisi kelas hanya tertawa mendengar ucapan Iit.

"Aduh bu, nggak usah pake kayak gini juga udah pasti lukisannya Andin yang menang. Orang di kelas ini cuma dia yang jago ngelukis," ujar Mita malas. Dia tidak suka pelajaran melukis. Lagi pula, semua siswa sudah mengakui kemampuan melukis Andin, jadi tidak perlu begini.

Dila terdiam. Semua orang tidak tahu kalau dirinya juga pandai melukis. Beberapa kali ia mengikuti perlombaan melukis. Dulu.

Aku harus menang.

Satu jam berlalu, kini waktunya Bu Ririn melihat hasil lukisan mereka.

"We gila, Dila bagus juga lukisannya," seru Iit keras membuat beberapa siswa datang mengerumuni lukisan Dila.

"Wah keren! Kamu bakat juga ya, Dil," ujar Rano.

Banyak pujian dilontarkan untuk Dila. Dila menanggapinya dengan senyum bangga. Ia yakin, pasti ia akan menang, melihat seberapa banyak yang suka pada karyanya.

"Ya, sesuai dugaan kalian, Andin yang menang. Andin, lukisan kamu akan saya kirim untuk pameran minggu depan," ujar Bu Ririn membuat satu kelas heboh.

"Terima kasih, Bu,"

Dila terdiam menatap Bu Ririn.
"Dila, lukisan kamu bagus, tapi masih kurang, kamu bisa belajar lagi," ujar Bu Ririn. Dila hanya membalasnya dengan anggukan ringan.

Andin? Gimana bisa? Jelas-jelas lukisan aku lebih bagus. Oke fine, lain kali aku pasti lebih unggul. Dari kalian.

-Aran Dihata-

Don't forget to vote and comment

Thank you

Melepas Kau Senja Where stories live. Discover now