1 | Interaksi Pertama

Start from the beginning
                                    

Bagaimana Aundy bisa berkencan dengan Ariq? Ya, tentu saja dengan mengikutsertakan Ajil dan Hara.

Aundy tidak pernah pergi berdua dengan Ariq. Pernah suatu ketika, saat dia ingin pergi menonton berdua, dia memohon pada Ajil dan Hara untuk berbohong, "Bilang aja gue perginya sama kalian." Tapi kedua temannya itu menolak, walaupun Aundy hampir memohon di telapak kakinya. Ajil bilang, "Kalau lo kenapa-kenapa, kita yang dipenggal sama bokap lo!"

"Lo mau gue antar? Nunggu kelas gue selesai?" Ajil menyengir setelah menghabiskan makanannya.

"Kak Oda keburu ngirim bom ke sini kalau gue harus nunggu lo." Aundy sudah sempat bangkit dari tempat duduknya, dan telepon dari Kak Audra membuatnya kembali duduk. "Halo?" sapanya dengan suara malas.

"Bagus, ya! Lama-lamain aja terus. Masih di kampus kamu?" omel Audra dari balik speaker telepon.

Aundy sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Kamu tahu nggak sih kalau Kakak tuh beneran nggak nyaman harus berduaan sama Mahesa kayak gini?" omel Audra lagi.

"Dia kan calon suami kamu, Kak," gumam Aundy. "Nanti juga kalian tinggal berdua."

"Eh, anak kecil! Nggak usah nyahut kalau lagi diomelin! Cepet ke sini!" Seringkali Audra lebih cerewet dari ibunya. Perbedaan usia Audra dan Aundy yang cukup jauh, yaitu terpaut delapan tahun, cukup membuat Audra merasa sangat tua dan berhak mengomel pada Aundy hampir setiap hari.

"Iya, ini aku mau pesan Grab paling—"

"Nggak usah. Argan juga masih di kampus katanya, kamu berangkat bareng dia aja. Dia mau ke sini juga."

"Aduh, aku naik Grab aja, deh. Canggung pasti kalau berangkat sama Argan," jawab Aundy. Dia sudah ingin menutup telepon.

"Kakak kirim nomor Argan, ya. Kamu hubungi dia langsung." Sambungan telepon terputus, meninggalkan keputusan sepihak. Memang ya, Aundy tidak pernah diberi kesempatan untuk menolak jika dihadapkan dengan kakak satu-satunya yang otoriter itu.

Aundy kembali bangkit dari tempat duduknya. "Gue duluan!" Dia mencium pipi Hara, lalu mengacak rambut Ajil sebelum pergi. Kedua temannya itu melambaikan tangan saat dia melangkah menjauh.

Aundy melangkah dengan tergesa, dia tidak ingin diteror lagi oleh Audra. Tatapannya tidak teralihkan dari layar ponsel. Setelah menyimpan nomor kontak Argan yang baru saja dikirim Audra, dia berjalan sembari menghubungi nomor ponsel laki-laki itu.

"Halo?" Suara berat dari seberang sana menyapa setelah nada sambung ke-tiga.

"Ini Argan?" tanya Aundy. Dia keluar dari kantin FISIP, dan menyeberang menuju gedung kuliah Fakultas FMIPA.

"Siapa?"

"Aundy."

"Aundy? Siapa"

Ngeselin banget, sih. Kayak sok nggak kenal gitu.

Mereka memang belum pernah berkenalan secara resmi, walaupun sudah bertemu beberapa kali saat acara makan malam keluarga. Mereka juga belum pernah berjabat tangan dan saling memberi tahu nama masing-masing. Namun, sejak pertama kali bertemu di perjodohan Audra dan Mahesa, sekitar dua bulan yang lalu, selain menjelaskan panjang-lebar tentang sosok Mahesa Raka yang mengagumkan, Tante Sarah dan Om Brata juga tidak ketinggalan mempromosikan anak bungsu mereka, Arganta Yudha—yang istimewa itu.

Dan ya, namanya orangtua, kadang Aundy tidak mengerti bagaimana cara mereka berpikir, kedua orangtua Aundy pun sejak saat itu senang sekali menjelaskan sosok Aundy kepada keluarga Om Brata, mulai dari prestasi akademik sampai kebiasaan baiknya di rumah.

Jadi, seharusnya dari beberapa kali pertemuan itu, Aundy dan Argan sudah saling tahu.

"Halo?" Suara Argan terdengar bingung dari balik speaker ponsel.

"Aundy, adiknya Audra," jelas Aundy.

"Oh."

"Lo di mana? Mau ke Kuningan juga, kan? Gue di depan gedung fakultas gue, nih." Aundy masih berjalan tergesa.

"Fakultas lo? Fakultas apa?"

Wah, bener-bener. Jadi selama acara makan malam, ibu dan ayahnya berbusa-busa menjelaskan Aundy yang kuliah di jurusan Statistika ini tidak menarik perhatiannya sama sekali ya? Padahal Aundy hafal betul tentang Arganta Yudha yang kuliah di jurusan Ekonomi yang beberapa kali diceritakan oleh orangtuanya itu.

"Aundy? Lo masih di sana?"

"Fakultas MIPA!" Aundy sedikit membentak.

"Santai, dong," gumam Argan. "Gue udah di depan FMIPA dari tadi, disuruh Kak Audra jemput lo."

Tadi sok-sokan nggak tahu siapa Aundy dan nanya fakultas itu maksudnya apa? Aundy membuang napas kasar, tatapannya berkeliling, mencari sosok Argan.

"Camry hitam, cepet ya," titah Argan.

Leher Aundy sedikit memanjang. "Oke. Gue udah lihat." Dia mematikan sambungan telepon. Dan saat mau melangkah ke arah di mana Camry hitam itu terparkir, ada seseorang yang menarik tangannya.

"Ody!"

Aundy menoleh ke belakang, menemukan sosok yang selalu bisa membuatnya tersenyum setiap kali melihatnya. "Ariq?" Benar kan sekarang Aundy tersenyum. Terlebih, karena seharian ini dia belum bertemu dengan laki-laki itu. "Udah selesai kelas?"

"Masih ada satu mata kuliah lagi." Ariq adalah mahasiswa Jurusan Manajemen, dan jarak gedung kuliah mereka cukup jauh.

"Terus ngapain ke sini?"

"Nyari kamu, lah. Lumayan ada waktu setengah jam buat ketemu kamu, sebelum masuk kelas lagi." Ariq mengusap kepala Aundy.

Perut Aundy mendadak mulas, rasanya tidak rela harus bilang pada Ariq bahwa sekarang dia harus cepat-cepat pergi dan tidak bisa menemani waktu setengah jam yang sangat berharga itu—karena biasanya Ariq sangat sibuk. "Riq ...." Aundy memegang kaus di bagian pinggang Ariq. "Aku pengin banget nemenin kamu, tapi aku harus pergi."

Ariq mengernyit. "Ke mana?"

"Ke kawasan Kuningan. Mau nemenin Kak Oda ngecek gedung buat persiapan pernikahan."

Ariq mengangguk. "Kamu ke sana sama siapa?"

"Sama calon adik iparnya Kak Oda," jelas Aundy. "Dia kuliah di sini juga kok, jadi sekalian bareng berangkatnya."

"Oh." Ariq mengangguk lagi. "Ya, udah. Kamu hati-hati, ya." Dia mengusap kepala Aundy lagi.

Dia nggak penasaran calon adik ipar Kak Oda itu laki-laki atau perempuan? Memang bukan Ariq banget kalau harus penasaran lalu cemburu. "Iya, aku hati-hati." Aundy mengangguk. Setelah itu, ponselnya kembali bergetar, ada telepon masuk dari Argan.

Aundy tersenyum ke arah Ariq sebelum mengangkat telepon, dan suara protes di seberang sana terdengar, "Pacarannnya bisa nanti-nanti?"Argan sedang memperhatikannya, ya?

Aundy memutus sambungan telepon tanpa membalas ucapan Argan. "Aku pergi sekarang, ya. Udah nunggu dari tadi orangnya. Nggak enak."

"Oke." Ariq memegang tangan Aundy. "Bye."

Aundy menjauh, dan pegangan tangan Ariq terlepas. Dia menghampiri Camry hitam di depan gedung fakultasnya dan segera membuka pintu mobil. "Sori lama," ujarnya setelah duduk di samping jok pengemudi.

Argan berdeham, setelah menyalakan mesin mobil, dia bergumam, "Kalau ini taksi, argonya udah berapa?" Dengan nada sinis.

Aundy tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya, dia memalingkan wajah ke kaca jendela di sebelah kiri. Dia akan membiarkan perjalanan ini tanpa suara. Karena, kesan yang dia dapatkan pada interaksi pertama mereka ini adalah ... Argan cukup menyebalkan.

***

Satu AtapWhere stories live. Discover now