bag.8

10.2K 390 108
                                    

Avista menggeliat ketika nabastala  masuk ke celah jendela kamarnya, membuat dirinya terganggu saat sedang nyenyak tidur. Ia membalikkan tubuhnya untuk memunggungi jendela, berniat untuk menghindari sinar matahari pengganggu tidurnya. Kini, tubuh Avista mengarah ke arah pintu kamarnya yang mungkin berjarak  dua belas meter dari ranjangnya.

Avista menghela berat saat matanya bergerak ke arah jam dinding yang menunjukan pukul 07.45 pagi. Avista bangun, memposisikan tubuhnya agar duduk di tepi ranjang. Tangannya mengusap matanya yang masih belum sepenuhnya terbuka normal. Lalu, tangannya menutup mulut Avista saat gadis itu menguap.

Avista melenggang pergi, meninggalkan ranjangnya lalu menuju ke kamar mandi. Membersihkan dirinya dengan shower yang menyala membasahi tubuhnya.

Lima belas menit berlalu, Avista keluar dari kamar mandi. Berjalan ke arah lemari bajunya dan langsung mengambil busana yang ingin dia pakai kemudian langsung memakainya. Ia duduk di meja rias dengan cermin yang bersih tanpa noda apa pun. Sedikit memoles wajahnya dengan tipis lalu senyum itu terbit kala gadis itu sudah selesai memoles wajahnya.

Namun, senyumnya langsung memudar saat telinganya peka dengan suara klakson mobil yang berasal dari depan rumahnya. Avista hafal suara itu. Dia melangkah ke arah jendela, ingin memastikan siapa orang yang masih pagi seperti ini sudah mengganggu aktivitasnya. Apakah benar dugaannya?

Avista menggeser gorden yang menutupi jendela kamarnya. Gadis itu menghela napas kasar saat melihat mobil siapa yang sudah nangkring manis di depan rumahnya. Benar seratus persen dugaannya. "Ck!" decaknya.

Tak lama dari itu, ponselnya berdering sangat nyaring memenuhi seisi kamarnya. Avista melirik ke arah ponsel yang dia letakkan di samping bantal di kasurnya.
Avista berjalan ke arah kasurnya, menidurkan tubuhnya di ranjang tersebut. Berposisi tengkurap, tidak peduli jika nanti pakaiannya akan kusut walau baru dipakai. Dahinya mengernyit bingung. Setelahnya, dia kembali mengingat. Nama Axel tertera jelas di sana. Dia memutar otak untuk mencari memori kapan Axel menaruh nomornya ke ponselnya.

Ah, empat bulan lalu. Bagaimana Avista bisa lupa? Malahan Avista duluan yang menelpon Axel saat itu, walaupun ditolak beberapa kali. Setelahnya ia menggeser tombol berwarna hijau, menjawab panggilan dari kekasihnya yang sebenarnya tak ingin dia anggap kekasih.

"Halo," sapa Avista dengan nada ketus.

"Baru bangun?"

"Tidak juga."

"Kenapa lama?"

"Ya."

"Aku di depan."

Sambungan telepon langsung dimatikan sepihak oleh Avista. Jujur saja, Axel bagai devil yang tiba-tiba mengusik dirinya. Rasa takut tak sedikit pun kabur dari benaknya. Rasa cemas juga kian menjalar di setiap tetes aliran darah Avista. Tangannya meremas ponselnya dengan kuat. Menyalurkan emosi pada ponsel tersebut.

"Arghhh!!" Avista berteriak melampiaskan emosinya.

Sudah hampir empat bulan dirinya diklaim sebagai kekasih Axel. Sudah empat bulan juga Axel selalu mengusiknya. Empat bulan berasa sangat lama bagi Avista. Empat bulan dengan penuh paksaan dari Axel, dan jangan lupakan, empat bulan Avista selalu menurut pada Axel.

Avista turun ke bawah menyusuri anak tangga satu per satu. Tidak ada suara apa pun di sana. Hanya ada suara hentakan sepatu pink milik Avista. Ayahnya mungkin sudah berangkat awal mengingat belakangan ini banyak rapat yang sangat penting bagi perusahaan Oscorp milik Faris—Ayahanda Avista.

Axella [PROSES REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang