Bab 19. Tidak Direstui

3.8K 660 119
                                    

Maya bingung.

Ketika bangun, ia mendapati rumah sepi. Parmi, Darma tidak ada. Bahkan Jaka juga tidak ada di kamarnya.

"Bude?" Maya berjalan menuju dapur, tidak ada orang.

"Pakde?" Ia lanjut mencari di garasi, kosong. Bahkan mobil butut itu juga tidak ada.

"Jaka?" Maya kembali ke kamar pemuda yang semalam dirawatnya, kosong.

Langkahnya terhenti, melihat seprai putih kasur ada bercak merah. Maya mendekat untuk melihat lebih jelas lalu membekap mulut, itu darah?

Jantungnya berdetak cepat tak karuan. Maya panik, segera berlari kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian.

Apa yang terjadi? Apakah Jaka mimisan atau muntah darah lagi? Itu sebabnya rumah sepi, Jaka dilarikan ke Rumah Sakit?

Tidak dapat mengancingkan rok seragam, tangannya terlalu gemetaran, Maya duduk di pinggiran kasur, membekap wajah dan menangis sejadi-jadinya.

Ia takut terjadi sesuatu pada Jaka. Ia takut Jaka pergi dan tak kembali. Ia takut kehilangan seseorang yang sangat dicintainya lagi.

Ini bukan saatnya menangis.

Sadar akan hal itu, Maya mengusap air mata, memulas bedak, lip gloss, mengambil dompet yang isinya cuma satu lembar dua puluh ribu pemberian Darma sebelum berangkat sekolah kemarin lalu dimasukkan tas dan bergegas melangkah keluar rumah.

Beberapa menit menunggu, angkutan pedesaan datang dan berhenti di hadapannya. Maya masuk, duduk di bangku dekat seorang ibu yang membawa tas anyaman besar.

Maya merogoh ponsel dari dalam tas, melihat jam di pojok kanan atas, pukul 05.30. Masih terlalu pagi, tapi ia yakin Pak satpam sudah membuka gerbang sekolah.

Maya tidak tahu harus pergi ke mana, apakah harus menyusul Jaka? Tapi ke mana?

Ah iya, kenapa nggak telepon Pakde?

Maya segera mengarahkan ibu jarinya pada call log dan memencet Pakde dalam deretan nama-nama kontaknya. Nada sambung.

Lama menunggu ternyata masuk mailbox. Maya mengulang panggilan. Tidak diangkat. Lima kali mengulang panggilan, tetap tidak ada jawaban. Maya menyerah.

Kembali pada rencana semula. Maya akan tiba di sekolah, meminta bantuan Tony mencari Jaka di rumah sakit manapun.

Dalam perjalanan ke sekolah, Maya menelepon Tony, untungnya langsung diangkat. Gadis itu meminta sahabatnya berangkat ke sekolah sekarang karena ia sedang butuh bantuan.

Sesampainya di sekolah, Tony sudah menunggu di pintu gerbang.

"Bisa tolongin aku kan, Ton?" Maya mengiba dengan tatapan putus asa. Matanya kembali berkaca-kaca.

"Siap, May. Kamu tenang dulu. Jangan panik." Tony membimbing Maya duduk di teras sekolah.

"Aku panik, Ton! Kemarin Jaka demam, udah minum penurun panas, udah kukompres juga, tapi suhunya masih tetep tinggi. Pagi tadi rumah sepi, pas aku ke kamarnya ada bercak darah di seprai. Ya, Tuhan." Maya kembali tergugu.

Tony tidak tega, tidak berhenti mengusap bahu Maya tanpa tahu berkata apa. Dia juga prihatin dengan kondisi Jaka, tapi juga tak tahu harus berbuat apa.

"Terus, apa yang bisa kutolong?" tanyanya pada Maya, siap melakukan apa pun untuk menolong.

Maya tidak langsung menjawab, membersihkan pipi dari air mata. Ia sendiri juga bingung harus mencari Jaka ke mana. "Kamu tahu rumah sakit di Kediri yang biasanya didatengi keluarga Jaka?"

My JackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang