Bab 18. Ciuman Pertama

4.4K 656 102
                                    

Jaka dan Maya lupa bahwa dunia dan seisinya diciptakan Tuhan bukan hanya untuk mereka, melainkan juga untuk orang-orang di sekitar mereka.

Sabtu siang ini ketika memanen bawang merah di sawah bersama Darma, Parmi dan para petani, Jaka dan Maya terlena, lalu amnesia.

Terik panas tidak menyurutkan romantisme dua remaja tersebut. Bahkan kilauan asmaranya lebih menyilaukan pandangan orang-orang dibanding sinar matahari siang ini.

Bodohnya, mereka berdua sama sekali tidak menyadari sedang menjadi pusat perhatian semua orang.

Contohnya ...

Dahi Maya berpeluh ketika mengikat segerombol bawang merah, Jaka mengusap peluh itu menggunakan handuk kecil yang melingkar di lehernya.

Ketika Maya kesulitan membuka penutup botol air mineral, Jaka menolong tanpa diminta.

Ketika sandal jepit Maya putus, Jaka bersedia menyerahkan sandal miliknya sementara dia sendiri bertelanjang kaki.

Ketika mereka beristirahat di gubuk, Maya menyandarkan kepala di lengan Jaka, yang punya lengan diam saja.

Para petani yang diam-diam melihat adegan per adegan mulai berkasuk-kusuk curiga, sepupu masa gitu?

Darma dan Parmi menyadari keganjilan interaksi anak dan keponakannya ini.

Celakanya, dua sejoli itu belum juga paham situasi.

Gadis bercelana pensil sebetis dipadukan kaos longgar warna putih itu memejamkan mata, menikmati desiran angin ladang di bahu pemuda yang dicintainya.

Sedangkan penampilan pemuda itu juga sama kasualnya, bercelana jeans ditekuk hingga selutut dipasangkan dengan kaos longgar warna cokelat muda. Bertelanjang kaki, sandal jepitnya dipakai Maya.

"Jaka .... " Suara serak Maya terdengar lirih. Anak rambutnya berkibar tertiup angin, menutupi wajah.

"Hm?" Jaka bergumam.

Tatapan pemuda itu lurus ke depan pada hamparan tanah ladang yang sekarang sudah kosong, semua bawang sudah dipanen. Beberapa hari lagi akan ditanami benih baru.

Matahari yang semula bersinar terik, kini tertutup awan kelabu. Hembusan angin membawa kesejukan bagi tubuh berpeluh mereka. Mungkin sebentar lagi hujan.

"Kita nikah, yuk." Maya melanjutkan ucapannya, datar, tanpa beban.

Sebaliknya, Jaka segera menegakkan punggung untuk beringsut menjauh, "Jangan mulai gila."

Maya yang kehilangan sandaran terpaksa menegakkan punggung, lalu berdecak. "Kenapa sih usulan nikah ini selalu kamu tolak? Kamu beneran nggak suka sama aku?"

Jaka mematung. Ditanyai seperti ini, ia harus menjawab apa? Suka? Kalaupun dia menyukai Maya, apa boleh? Mereka sepupuan. Meskipun dalam Islam diperbolehkan menikah antar sepupu sebab bukan mahram. Dan di desa ini ia juga sering menghadiri pernikahan antar sepupu. Namun, tetap saja aneh. Bagaimana dengan kedua orang tuanya, akankah merestui hubungan mereka? Apalagi Parmi, ibunya, bersediakah mempunyai menantu seperti Maya?

"Oi, Jak." Maya menjetikkan jari di depan wajah Jaka. Pemuda itu mengerjap kaget.

"Malah ngelamun loh ditanyain," protes Maya.

Jaka mengancam dengan wajah datar, "Jangan bicara aneh-aneh. Atau aku akan kembali bantuin Bapak ngangkut bawang merah ke truk."

Maya memegangi lengan Jaka erat. "Jangan!"

Jaka menoleh, mendapati wajah sepupunya sudah berubah ketakutan. Dahinya berkerut keheranan, mengapa Maya setakut ini?

"Aku takut kamu mimisan lagi kalau kecapean. Kamu nggak boleh sakit. " Maya menggeleng kuat-kuat.

My JackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang