Bab 9. Sepupu Bukan Mahram

4.2K 502 42
                                    

Maya memasukkan buku Matematika ke dalam tas setelah bel istirahat kedua berbunyi dan Pak Mamat, guru Matematika, meninggalkan kelas XII IPA 1.

Jaka melakukan hal yang sama. Hanya saja kemudian meletakkan kepala ke atas meja, lalu memejamkan mata.

"Kok lesu, Jak?" tanya Maya keheranan.

"Hm. " Jaka hanya bergumam, malas membuka mulut. Bahkan matanya pun masih memejam.

"Kenapa? Lo sakit?" Maya tidak bisa menghentikan rasa cemasnya.

"Nggak, " jawab Jaka singkat. Pemuda itu akhirnya membuka mulut sekaligus mata, menatap Maya yang juga sedang menatapnya cemas.

"Kita pulang naik angkutan lagi, kan? Bakal gawat kalau kamu lemes gini." Maya masih menatap Jaka, menggigiti kuku panik.

Pasalnya angkutan di jam pulang sekolah sudah pasti penuh sesak. Butuh perjuangan keras untuk masuk dan mendapatkan bangku di dalamnya.

"Masih kuat. " Jaka mengangguk.

Maya yang masih mencemaskan kondisi Jaka menatapnya lama.

"Jaka." Suara sapaan di belakang bangku memaksa Jaka untuk bangun dan membalikkan badan.

"Kapan ada waktu? Aku mau bicara sesuatu, " tanya Iman, duduk di sebelah Rohim.

Jaka melihat dua sahabatnya secara bergantian. "Ada yang penting?" Jaka mengernyit. Tidak biasanya dua bocah tergabut ini bertampang serius.

"Penting banget! Sebelum kamu bobok bareng sama May ... Hmp!" Belum tuntas kalimat Rohim, Iman sudah membekap mulut sahabatnya yang terlalu jujur itu.

"Gimana kalau kita bicarakan di masjid setelah salat Zuhur? Bukan masalah penting, kok, " jawab Iman tenang. Namun, bekapannya berhasil membuat Rohim kehabisan napas.

"Oke." Jaka menyetujui, menatap cemas pada Rohim yang meronta dalam bekapan Iman, kemudian bangkit dari bangkunya dan menyeret langkah menuju masjid.

"Jaka, gue ikut!" Maya menyusul langkah Jaka.

Selepas kepergian dua sepupu itu, Rohim berontak, "Hmp!" Wajahnya merah padam. Napasnya sudah sampai di tenggorokan. Jika Iman terlambat satu detik saja melepas bekapan tangannya, Rohim sudah pasti sakaratul maut.

"Bahlul! Nggak perlu terlalu jujur, apalagi ada Maya, " tegur Iman menoyor kepala Rohim.

Kepala Rohim terjengkang ke depan. Tapi dia tak membalas, lebih memilih mengambil oksigen sebanyak mungkin untuk memenuhi rongga paru-parunya.

"Kamu yang bahlul! Mau bunuh aku? Gimana kalau aku mati beneran, hah?" Rohim tak terima.

"Nggak. Utangmu masih belum lunas, nggak mungkin kubunuh, " jawab Iman datar.

Rohim semakin melotot tak terima, "Kamu lebih mentingin duit daripada sohib sendiri?"

"Justru aku sedang menyelamatkan kamu. Mati sebelum hutang lunas itu bikin arwah gentayangan. "

Rohim semakin mendelik, "Nyumpahin?!"

"Nggak usah drama. Jaka udah sampe Mekkah, kita berangkat aja belum. Kuy, cabut, ah!"

Iman mengambil songkok dari dalam tas untuk diselipkan ke dalam saku celana, kemudian berjalan menyusul Jaka. Lain hal Rohim, cowok berambut cepak itu tak butuh songkok. Dia mengambil dompet dari tas ranselnya untuk dimasukkan ke dalam saku celana ikut menyusul langkah Iman.

*****

Masjid sudah dipenuhi oleh para siswa. Maya menunggu Jaka dengan duduk di lantai pualam teras. Tangannya sudah akan menyumpal headphones ke dalam lubang telinga, tapi urung karena Jaka sedang menanyainya sesuatu.

My JackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang