20 + 3

101 16 9
                                    

"Pacaran, ya, Kak?"

Pertanyaan itu muncul sesaat setelah Joshua beranjak dari tempat duduknya untuk membeli minuman untuk kami berdua. Pertanyaan yang berasal dari arah kiriku itu membuatku terbelalak dan langsung menoleh ke sumber suara. Kania dengan senyumnya sedang menatapku lalu ia duduk di sebelahku.

"Apaan, sih, Kan?" tanyaku balik. "Engga, kok."

Kania menaikkan kedua alisnya seolah-olah aku baru saja mengucapkan sebuah dusta. Kania pastilah tidak yakin dengan jawaban yang kuberikan. "Yakin?"

Aku menganggukkan kepalaku. Tiba-tiba saja sebuah kalimat terlintas di kepalaku. Kurasa ini adalah saat yang tepat untuk bertanya kepada Kania. "Luna masih suka sama Josh?"

Kali ini giliran Kania yang terlihat terkejut. Ia terlihat tidak menyangka bahwa aku mengetahui tentang perasaan Luna, teman sekelas Kania, kepada Joshua. "Kakak kok tau? Kakak tau dari mana?" Kania tiba-tiba saja menepuk dahinya. "Bang Josh udah tau?"

"Joshua gak tau, gue tau dari gerak-gerik dia waktu ada Joshua," jawabku.

"Emangnya kelihatan, Kak?" tanya Kania.

"Ya, menurut lo?" tanyaku lalu aku menoleh ke arah kios tempat Joshua membeli minuman. Di sana juga ada Luna yang sedang menatapi Joshua layaknya Joshua adalah sebuah cahaya kehidupan. "Lo lihat aja sendiri."

Kania menoleh ke arah tolehanku. Aku kembali menatap Kania yang sekarang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gila, padahal gue udah ngasih tau ke dia buat biasa aja kalau ada Bang Josh."

"Dia gak suka sama gue, ya?" tanyaku. Aku bertanya seperti itu karena seperti pada umumnya, seorang perempuan tidak menyukai perempuan lain yang dekat dengan orang yang ia sukai. Contohnya adalah diriku sendiri. Sebenarnya, saat pertama kali Calum mengatakan bahwa ia dekat dengan Mawar, aku langsung tidak menyukai Mawar. Namun pada saat itu, aku sudah berjanji untuk membantu Mawar. Maka dari itu, rasa tidak suka itu kuredam sebaik mungkin.

"Ya, menurut Kakak gimana?" Kania malah balik bertanya. Ia pasti tidak enak mengatakan hal itu secara langsung.

"Kan, lo bilang sama dia kalau gue sama Joshua cuma temanan. Dan lo bilangin ke dia kalau Joshua gak mungkin suka sama orang kayak gue. Jadi, gak mungkin kita berdua bisa lebih daripada sekarang," ucapku kepada Kania.

Kania hanya bergeming. Aku sedikit terkejut melihat reaksi Kania yang tidak sesuai dengan dugaanku. Seharusnya Kania membalas ucapanku dengan balasan yang menandakan bahwa dia akan memberitahukan hal itu kepada Luna.

"Kan?" tanyaku, berusaha menyadarkan Kania takut-takut dia sedang kerasukan atau semacamnya.

"Kak, gue pergi dulu, ya," pamit Kania lalu ia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkanku sendiri.

Aku mengernyit menatapi kepergian Kania. Ia seperti baru saja melihat atau mendengar sesuatu yang tak seharusnya diterjemahkan oleh alat inderanya.

"Bel."

Panggilan seseorang itu membuatku berhenti memikirkan Kania dan menoleh ke sumber suara. Joshua berada di belakangku dan saat ini ia sedang melangkahkan kakinya menuju kursi yang ada di hadapanku. Ketika Joshua meletakkan minuman kami di atas meja, pikiranku kembali ke penyebab Kania menjadi sedikit aneh.

"Josh, lo gak denger, kan?" tanyaku memastikan. Sebenarnya tidak masalah jika Joshua mendengarkan apa yang kuucapkan tadi. Hanya saja, aku merasa ucapanku itu tak seharusnya memasuki pendengaran Joshua.

"Kalau gue bilang ucapan lo salah, perasaan lo gimana?" tanya Joshua.

"Hah?" tanyaku dengan spontan karena aku tidak mengerti tujuan Joshua menanyakan hal itu.

"Gak jadi, Bel," jawab Joshua.

Aku kembali mengernyit. Sudah dua orang terlihat aneh hari ini. Aku kira hari orang aneh tak pernah ada, tetapi nyatanya, ternyata hari itu ada dan inilah dia. Ini adalah hari bagi para manusia untuk bersikap aneh dan membuatku berpikiran aneh mengenai mereka.

"Eh, Bel, btw lo kenal sama dia gak?" tanya Joshua. Kurasa ia sedang bermaksud untuk membuatku mengalihkan pikiranku mengenai pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya.

"Dia siapa?" tanyaku.

"Dekat kios gue beli minuman kita," jawab Joshua. Saat aku melihat ke arah kios itu, Joshua berkata, "Yang lagi minum Coca Cola."

Luna adalah orang yang sedang meminum Coca Cola. Ini tidak baik, itu artinya Joshua bisa saja Joshua sudah menyadari bahwa selama ini Luna kerap kali memandanginya. Bagian terburuknya adalah mungkin saja Joshua berniat untuk mendekati Luna. Tidak, tidak, itu tidak boleh terjadi.

Astaga, apa yang baru saja kupikirkan? Kenapa aku berpikir seolah-olah Joshua adalah kekasihku di saat Joshua adalah temanku? Baiklah, Bella, kau harus sadar bahwa kau hanya teman Joshua. Kau teman Joshua yang artinya kau harus mendukung segala perbuatan baik yang akan Joshua lakukan. Mendekati adik kelas bukanlah sebuah perbuatan jahat, maka dari itu kau harus menerimanya.

"Bel?" Joshua menyadarkanku dari pikiranku yang sudah melayang entah ke mana. "Lo kenal gak?"

Aku kembali mengembalikan pandanganku ke Joshua lalu aku menggelengkan kepalaku. "Gue gak kenal dia, tapi gue tau namanya. Kenapa? Mau lo deketin?"

Joshua menggelengkan kepalanya. "Engga, gue cuma penasaran aja sama dia."

"Awas, entar dari penasaran bisa jadi pacaran," ucapku dengan nada yang terdengar tidak ikhlas. Semoga saja Joshua tidak menyadari kejanggalan dalam nada bicaraku itu.

"Enggalah, astaga," balas Joshua. "Denger, ya, Bel, selama lo belum punya pacar, gue gak bakal pacaran."

"Lah, kenapa?" tanyaku.

"Ya, kalau gue pacaran, yang jagain lo kalau lo sakit hati lihat Calum sama Mawar pacaran siapa?" tanya Joshua balik.

"Siapa yang sakit hati kalau lihat mereka pacaran coba?" tanyaku dengan nada yang sedikit meyakinkan agar Joshua percaya bahwa tak ada yang sakit hati melihat hubungan Calum dengan Mawar.

Joshua menunjukkan ekspresi yang biasa ia pancarkan ketika aku mengelakkan fakta bahwa aku menyukai Calum. "Kita lihat aja besok."

"Gak, Josh, gak, gue gak bakal sakit hati lihat penampilan Mawar sama Calum besok," kataku tanpa sadar bahwa aku baru saja mengungkapkan sebuah fakta.

Joshua tersenyum, ia berhasil menarik fakta itu. "Aduh, Bel, Bel, lo gak bosen apa bohongin gue? Gue aja udah bosen denger lo bohong."

"Gue gak bohong, Joshua, gue jujur," jawabku dengan seyakin-yakinnya. Biarlah dosa akibat kebohongan itu melekat di diriku.

"Gue iyain deh, Bel, gue iyain," ucap Joshua. "Tapi inget, ya, Bel, kalau lo ngerasa sakit waktu lihat mereka berdua, lo bisa datengin gue. Gue bakal selalu ada buat dengerin kebohongan lo, kok."

"Ih, Joshua, apaan, sih?" tanyaku. "Gue gak pernah bohong sama lo. Dan gue gak bakal datengin lo karena gue gak bakal sakit hati lihat mereka berdua."

"Seandainya gue kenal sama bapak-bapak yang biasa ada di lie detector test dan bawa dia menghadap lo, pasti dia udah bilang that's a lie ribuan kali," ucap Joshua.

•••

Masih benci sama Zaki masaan:(

1/3/'19
20:19

Catch Fire × Calum Hood || ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang