6 + 1

156 32 18
                                    

"Udah, Cal, gak apa-apa, gue emang udah izin pulang malam kok," ucapku menolak permintaan Calum untuk meminjam ponselku agar ia bisa meminta izin dari ibuku karena aku akan pulang lama.

Saat ini aku dan Calum sedang berada di sebuah kafe yang bernama Kafe Mentari. Kafe ini berlokasi tidak jauh dari Perguruan Satria Muda. Calum mengajakku ke kafe ini karena ia ingin berbicara empat mata denganku. Awalnya aku menolak ajakan Calum karena aku merasa tidak enak dengan pacarnya, tetapi karena Calum sedikit memaksaku, akhirnya akupun menerima ajakannya.

"Tapi guenya gak enak, Bel," kata Calum.

"Ya udah, nih," kataku sembari memberikan Calum ponselku. "Tapi lo jangan bilang kalau kita cuma berdua, ya, nanti Mama marah."

Calum mengangguk sembari menerima ponselku dan tak berapa lama kemudian, ia meletakkan ponselku di telinga kirinya.

"Halo, Tan, ini Calum, temannya Bella."

"Iya, Tan, Bellanya lagi sama Calum, Tan, kita lagi ngerjai tugas."

"Iya, Tan, Calum bakal nganter Bella pulang."

"Tau, Tan."

"Iya, Tan, Tante tenang aja, Bella aman sama Calum."

"Nih," kata Calum seraya mengembalikan ponselku.

"'Makasih, ya, Cal," ucapku sembari menerima kembali ponselku dan menyimpannya di tas kecil yang kubawa.

"Oh ya, Bel, lo punya pacar gak?" tanya Calum kepadaku.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Gebetan?" tanya Calum lagi.

Aku kembali menggelengkan kepalaku. "Gue lagi gak tertarik, pernah sakit soalnya." Aku langsung menutup mulutku dengan tangan kananku, aku telah mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak kuucapkan karena itu dapat membuat Calum penasaran.

"Siapa yang nyakitin lo?" tanya Calum.

Benar saja. Calum penasaran. Aku sudah tidak bisa mengelak lagi, mau tak mau aku harus memberitahu Calum sedikit informasi mengenai kisah tragisku dan aku tidak akan menyebutkan nama orang itu di hadapan Calum. Dia masih terlalu baru untuk mengetahui kisah tragisku itu.

"Temen gue waktu SMP. Dia tuh udah deketin gue, udah buat gue baper, dan dia udah buat gue ngerasa kalau dia juga sama gue. Eh, tapi dia malah-" Aku menghentikan kalimatku. Aku telah berbicara terlalu banyak. Aku telah memberitahu Calum sebagian dari kisah tragisku. Aku telah melakukan kesalahan.

"Dia malah apaan, Bel?" tanya Calum, dia benar-benar penasaran dengan kisahku. "Lo gak usah malu buat cerita, Bel, anggap aja gue ini abang lo. Ya, walaupun kita baru kenal beberapa hari, lo bisa percaya sama gue."

Aku terdiam sejenak. Aku terdiam bukan karena aku mempertimbangkan keputusanku untuk meneruskan ceritaku, tetapi karena aku merasa ada sesuatu yang janggal saat Calum menyuruhku untuk menganggapnya sebagai kakak lelakiku. Tetapi, walaupun aku merasa ada yang janggal dengan Calum, entah mengapa aku sangat yakin bahwa aku bisa menaruh kepercayaanku kepadanya.

"Tapi dia malah nembak teman dekat gue, dia nembak teman dekat gue di depan gue, Cal," kataku, mendramatisir kisahku sendiri agar terlihat lebih tragis. "Dan lo bayangin, sampai sekarang mereka masih pacaran. Padahal nih, ya, gue udah doain mereka cepet putus dari detik pertama mereka pacaran."

Calum tertawa mendengar ceritaku. Itu adalah tanggapan yang benar-benar di luar dugaanku. Aku tidak menyangka bahwa Calum akan tertawa di atas kisah tragisku.

"Lo kok malah ketawa sih, Cal?" tanyaku dengan sedikit kesal.

"Lo drama banget, anjir, geli gue," jawab Calum.

"Drama apaan? Gue nyeritain kejadian sebenarnya dan lo tuh seharusnya beruntung karena cuma lo yang tau cerita menyedihkan gue ini," ucapku.

Senyum yang sedari tadi masih terukir di wajah Calum menghilang begitu saja. "Lo seriusan?"

Aku menganggukkan kepalaku. "Lo beruntung karena gue udah ngasih kepercayaan gue ke lo, Cal. Jadi, tolong banget, jangan ceritain ini ke Arissa atau Avi atau siapapun, ya? Gue minta tolong banget banget banget sama lo, Cal."

Calum menatapku tepat di mataku layaknya dia hendak mengatakan sesuatu yang serius. "Gue pastiin, lo gak bakal nyesal kasih kepercayaan lo ke gue. Lo gak bakal nyesal karena lo udah ngasih kepercayaan lo ke abang lo. Mulai sekarang, lo bisa cerita apapun ke gue, Bel. Gue pasti bakal selalu dengerin lo dan gue akan kasih lo saran kalau lo emang butuh saran dari gue."

Walaupun aku bukanlah tipe orang yang dapat menentukan keseriusan orang dalam mengucapkan sesuatu, aku dapat merasakan bahwa Calum benar-benar serius mengatakan hal itu. Dan entah mengapa, aku kembali merasakan sesuatu yang janggal saat Calum menyatakan dirinya sebagai kakak lelakiku.

"Sekarang giliran lo, Bang," ucapku kepada Calum. "Sekarang giliran lo buat cerita tentang cewek lo."

"Abangmu ini gak punya cewek, Bel," kata Calum.

Aku terkejut mendengar perkataan Calum. Ia baru saja mengatakan bahwa ia tidak memiliki pacar. Lantas siapa yang disebutnya sebagai ceweknya? Apakah waktu itu dia berbohong kepadaku? Kenapa pula dia harus berbohong?

"Terus yang lo jemput di butik itu siapa? Yang lo beliin novel itu siapa?" tanyaku dengan penuh rasa penasaran pastinya.

"Sebelumnya gue minta maaf sama lo, gue sebenarnya gak punya pacar. Tadinya gue bilang gitu ke lo karena gue kira lo bakal sedih, eh ternyata lo biasa aja," jawab Calum.

"Ya, iyalah gue biasa aja, emang lo mau gue sedih terus gue galau terus gue bilang gini-" aku mengambil ancang-ancang, "'Aduh sedih banget gue, ternyata Calum yang ganteng punya pacar.' Ya gaklah, gila aja gue gitu."

Calum tertawa melihat aksiku.

Andai saja aku bisa memberitahu kepada Calum bahwa ia adalah orang yang memiliki senyum serta tawa terindah, mungkin akan kulakukan hal itu sekarang juga. Tetapi karena aku tidak bisa melakukan hal itu dan itu termasuk hal yang gila, aku memilih untuk diam dan menikmati pemandangan yang sangat indah ini.

"Btw, 'makasih banyak, ya, Bel," kata Calum.

Aku menautkan kedua alisku, aku tidak tahu alasan Calum mengucapkan kata terima kasih kepadaku. "'Makasih buat apaan, Bang? Perasaan gue gak ada berbuat sesuatu yang menguntungkan lo deh."

"'Makasih karena lo udah bilang gue ganteng," jawab Calum. "Gue tau kok, Bel, gue emang ganteng."

"Anjir," kataku. "Emangnya gue ada bilang lo ganteng, ya?"

Calum mengangguk dengan senyum yang masih terukir di wajahnya. Calum terlihat bahagia. Kebahagiaan Calum membuatku bertanya, apakah Calum bahagia karena ia sedang bersenda gurau dengan adiknya, ataukah Calum bahagia karena ia sedang bersamaku?

×××

"'Makasih, ya, Cal," ucapku kepada Calum saat Calum sudah memberhentikan mobilnya di depan rumahku.

Saat aku hendak membuka pintu, Calum kembali mengunci pintunya. Akupun menoleh ke arah Calum yang sedang menatapku. "Kok dikunci lagi, Cal?"

"Bentar," pinta Calum lalu ia mengambil sesuatu dari jok belakang. Ia mengambil sebuah plastik putih dan memberikannya kepadaku. "Ini buat lo, Bel."

Aku menerima plastik putih yang diberikan oleh Calum. Tanpa membuka plastik ini, aku sudah mengetahui benda apa yang terdapat di dalam plastik ini. "Lo seriusan?"

Calum menganggukkan kepalanya. "Sebagai tanda persaudaraan."

"Ya ampun, Cal, lo gak perlu kasih gue ginian," ucapku. "Tapi, berhubung gue udah jatuh cinta sama ini novel, jadi 'makasih banyak, ya, Cal."

"Anything for my lil sist," balas Calum seraya tersenyum kepadaku, ia menunjukkan senyum termanis yang pernah kulihat.

Sungguh indah, bantinku memuji senyuman Calum yang ada di hadapanku ini.

•••

Kelas dua belas membuat saya miskin kawan kawan:') Gimana mau nabung buat suami-suami coba:(

1/21/'19
20:19

Catch Fire × Calum Hood || ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang