141 18 4
                                    

"Mati gue," ucapku tanpa sadar saat aku melihat mobil ayahku memasuki kawasan rumah sakit. Bagaimana kalau ayahku melihat aku sedang makan bersama Calum? Bagaimana kalau beliau mendatangi kami berdua dan memarahiku dan juga Calum di tempat umum ini?

Ayahku adalah tipe ayah yang sangat tidak suka bila anak perempuannya berduaan dengan lelaki, apalagi lelaki yang tidak beliau kenal. Ayahku belum mengenal Calum dan sangat gawat jika ayahku benar-benar melihatku dengan Calum. Ya Tuhan, semoga saja ayahku tidak melihatku dan Calum.

"Bel, lo kenapa?" tanya Calum yang sadar bahwa sesuatu baru saja terjadi.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku pertanda aku tidak apa-apa dan tidak terjadi apa-apa. "Cal, nanti lo gak usah jenguk Ethan, ya."

Calum menautkan kedua alisnya. Ia pasti bingung karena aku melarangnya untuk menjenguk Ethan yang di mana itu adalah tujuannya setelah kami menyelesaikan makanan yang ada di hadapan kami. "Kenapa, Bel?"

"Pokoknya gak usah, Cal," jawabku tanpa berniat untuk memberitahu alasan yang sebenarnya kepada Calum.

"Bel, serius," kata Calum.

Aku tidak tahan melihat wajah Calum, tetapi aku juga tidak mau memberitahu Calum kebenarannya. Apa yang harus kulakukan?

Saat aku hendak membalas perkataan Calum dengan sebuah kebohongan, ponsel Calum yang ia letakkan di meja bergetar serta memancarkan sinarnya. Sebuah panggilan masuk dan itu berasal dari ibuku. Pasti ibuku hendak memberitahu Calum untuk tidak datang ke kamar Ethan. Dan pasti beliau juga akan memberitahu Calum alasan mengapa Calum tidak boleh menjenguk Ethan.

"Ehm, Cal, gue aja yang jawab, ya?" pintaku.

Calum menganggukkan kepalanya.

Akupun mengambil ponsel Calum dan menjawab panggilan masuk dari ibuku. Dan setelah melalukan beberapa percakapan, aku mematikan sambungan telepon dan meletakkan ponsel Calum di atas meja.

"Kenapa, Bel?" tanya Calum.

"Mama nyuruh gue balik, Cal," jawabku berbohong.

"Gue beneran gak boleh ikut lo?" tanya Calum.

Aku menganggukkan kepalaku. "Maaf, ya, Cal."

"Gak apa-apa, Bel," balas Calum. "Tapi gue minta tolong sama lo, Bel, jangan nutupin hal penting dari gue, ya?"

Aku terdiam sejenak. Calum tahu aku menyembunyikan hal penting dan itu membuatku merasa bersalah. Calum selalu terbuka denganku, tetapi aku tidak bisa terbuka kepadanya. "Iya, Cal, gue gak akan nutupin hal penting dari lo, kok."

"Ya udah, ayo, gue anter sampe lobi," ucap Calum sembari beranjak dari kursinya.

"Cal, makanan lo belum habis," kataku mengingatkan.

"Iya, nanti gue balik lagi ke sini, yang penting lo udah sampe di dalam rumah sakit," ucap Calum lalu ia mengangkat makanannya dan menitipkannya kepada penjual warung ini.

"Yuk, Bel," ajak Calum setelah ia kembali berdiri di hadapanku.

Akupun beranjak dari kursiku dan mengikuti Calum yang sudah terlebih dahulu jalan di depanku.

"Tangan lo," ucap Calum saat kami sudah berdiri di pinggir jalan.

"Hah?" tanyaku kebingungan.

Tanpa mengatakan sepatah katapun, Calum langsung menggenggam tanganku. Perbuatan Calum itu langsung membuatku melihat ke tangan kami yang sudah terkait.

"Yuk, Bel," ajak Calum sembari menarik tanganku untuk menyeberangi jalan sekaligus untuk menyadarkanku bahwa ia hanya menggenggam tanganku untuk menyeberangi jalan, bukan untuk mengklaim bahwa aku adalah miliknya.

"Cal, 'makasih banyak, ya," ucapku kepada Calum setelah kami sampai di lobi rumah sakit.

Calum menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. "Ya udah, gue balik, ya, Bel. Bilangin ke Ethan dia harus cepat sembuh, ya, biar kita bisa jalan bareng lagi."

"Iya, Cal, hati-hati, ya," pesanku.

Calum kembali menganggukkan kepalanya dan berjalan keluar dari rumah sakit. Ia berjalan meninggalkanku bersama dengan segudang perasaan bersalah karena aku tidak bisa mengatakan sebuah kebenaran kepadanya. Calum adalah orang yang sangat baik dan aku tidak pantas menerima segala perbuatan baiknya itu.

×××

"Bel, kita mau ngomong sama lo."

Kalimat yang cukup menegangkan itu keluar dari bibir Arissa saat aku baru saja memasuki kamarku. Kalimat itu berhasil membuatku sedikit ketakutan dan bahkan kalimat itu berhasil mengilangkan rasa terkejutku ketika melihat Arissa dan Avi sudah duduk manis di tepi tempat tidurku.

"Lo berdua kenapa ada di sini?" tanyaku sembari menggantungkan tas kecilku di gantungan yang menempel di pintu kamarku.

"Kenapa lo menjauh dari kita? Kenapa lo gak pernah on di grup?" tanya Avi tanpa mengindahkan pertanyaanku barusan.

"Bel, kita tau lo sakit hati karena Mawar sama Calum pacaran, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya aja jauhin kita semua," kata Arissa sembari beranjak dari tempat tidurku.

"Ris, Pi, gue gak menjauh, gue cuma lagi sibuk ngurusin organisasi gue," jelasku, "Gue gak sebego itu, Ris, Pi, gue gak sebego itu menjauh dari teman-teman gue cuma karena hubungan orang yang sama sekali gak penting dalam kehidupan gue."

Hebat. Aku tidak menyangka aku akan mengucapkan kalimat-kalimat yang cukup berat itu. Kurasa orang-orang benar, sakit hati dapat membuat seseorang menjadi lebih bijaksana. Tetapi mereka hanya bijak di luar diri mereka, sementara di dalam diri mereka, mereka masihlah orang bodoh yang sakit karena sebuah rasa yang disebut dengan rasa cinta.

Arissa dan Avi menepuk tangan mereka. Mereka terlihat puas dengan penjelasan yang baru kukatakan. Untunglah. Dan semoga saja mereka tidak sadar bahwa aku menjelaskan itu agar mereka tidak memojokkanku dan perasaan bodohku ini.

"Gila, gue gak nyangka sahabat gue acting-nya ngalahin Dian Sastro," ucap Arissa di sela-sela tepuk tangannya.

"Bellaku tercinta, lo mau berapa kali, sih, kita ingati? Lo itu gak pintar bohong, Bel, apalagi di hadapan kita berdua," kata Avi.

Aku menghembuskan napasku dengan kasar. Mereka berdua memang tidak bisa dibohongi dan aku bukanlah seseorang yang pandai memainkan peran. "Iya, iya, gue minta maaf. Gue minta maaf karena gue udah ngelibatin perasaan gak penting gue ini ke TPWK."

"Bel, kita gak butuh maaf dari lo, kita cuma butuh seorang Bella hadir di TPWK," kata Arissa sembari berjalan mendekatiku dan merangkulku. "Bel, inget, ya, semua yang terjadi saat ini adalah hasil campur tangan lo. Itu artinya, lo harus berani menghadapi ini semua. Jelas?"

"Jelas, Ibu Guru," balasku sembari melepaskan tangan Arissa dari pundakku. "Lo berdua cuma mau ngomong itu aja, kan? Kalau iya, gue minta lo berdua keluar sekarang, gue mau menggalau dulu."

Avi menggelengkan kepalanya. "Masih ada hal lain yang mau kita omongin ke lo."

"Apaan?" tanyaku.

Arissa mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan selang beberapa detik kemudian, ia menunjukkan layar ponselnya kepadaku. Sesuatu yang tak kuduga adalah hal yang saat ini berada di depan kedua bola mataku. Aku tidak menyangka seseorang berhasil menangkap pertemuanku dengan Calum pagi tadi.

"Anjir."

Kata itu keluar begitu saja ketika aku melihat gambar di mana aku dan Calum sedang berpelukan.

•••

Heyyo!! Maaf lama ya guys.

3/6/'19
20:19

Catch Fire × Calum Hood || ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang