7 × 3

119 17 5
                                    

Dengan segala keberanian dan keyakinan yang ada di dalam diriku, aku memasuki lingkungan sekolah yang pernah menjadi rumah keduaku selama tiga tahun. Jujur saja, aku sangat merindukan masa-masa di mana aku masih memakai seragam yang berwarna putih biru itu. Dan terkadang, aku juga merindukan masa-masa di mana aku dan dia bersama, dalam konteks pertemanan pastinya.

Aku kembali memasuki lingkungan PSM bukan karena kemauanku, tetapi karena permintaan dari Joshua dan juga Calum. Mereka berdua memintaku untuk menyaksikan gladi bersih mereka untuk acara esok hari. Dan karena mereka adalah orang-orang yang baik, tanpa memikirkan dampak yang dapat kurasakan, aku langsung menerima permintaan mereka.

"Lo belum beli tiket, kan, Bel?" tanya Joshua setelah posisinya sudah sejajar dengan posisiku.

Aku menggelengkan kepalaku. Aku memang sengaja belum, lebih tepatnya tidak, membeli tiket pentas seni PSM karena aku tahu, tanpa tiket pun aku bisa memasuki acara ini. "Kenapa? Lo mau beliin gue?"

"Rugi," jawab Joshua spontan lalu ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyodorkan sesuatu itu kepadaku. "VIP Pass buat lo."

Aku menerima ID Card dari Joshua dan memperhatikannya dengan saksama. Bagian depan ID Card ini bertuliskan VIP PASS dan bagian belakangnya bertuliskan namaku serta peranku, yaitu sebagai fotografer Tanpa Nama. "Josh, lo apa-apaan, sih? Kenapa gue jadi fotografer lo coba? Megang handphone aja kadang gue gemetaran, apalagi megang kamera."

"Lo mau masuk gratis apa engga nih?" tanya Joshua.

"Ya, maulah," jawabku.

"Ya udah, lo pake ID Card itu, tapi lo gak usah fotoin kita, kita udah ada fotografer sendiri, kok," kata Joshua.

"Ini atas persetujuan Austin dan Matt juga, kan?" tanyaku memastikan karena aku merasa tidak enak dengan Austin dan Matt  yang merupakan rekan-rekan Joshua di band Jamming J.

Joshua menganggukkan kepalanya. "Lo tenang aja, Bel, buat lo semua pasti aman."

"Ew, geli gue," balasku dengan nada seola-olah aku jijik mendengar jawaban Joshua. Padahal, jika aku bisa jujur, aku akan mengatakan bahwa aku sangat senang mendengar jawaban Joshua. Jawabannya seakan-akan menjelaskan bahwa aku adalah orang yang istimewa.

Astaha, apa yang baru saja kupikirkan? Aku tidak seharusnya berpikiran seperti itu. Aku akui aku sedikit tertarik dengan Joshua. Tetapi kenapa aku merasa ada sesuatu yang kurang, ya? Sesuatu yang kurasakan itu berhasil membuatku berpikir bahwa aku dan Joshua tidak akan pernah bersatu.

"Oh ya, Bel, nanti lo balik sama gue, ya?" pinta Joshua.

Aku menganggukkan kepalaku. Permintaan Joshua barusan adalah sebuah rezeki. Dan rezeki tidak boleh ditolak, bukan?

"Josh!" panggil seseorang dari arah kiri kami.

Aku dan Joshua menoleh ke sumber suara dan mendapati Austin sedang berjalan ke arah kami, diikuti oleh Matt di belakangnya.

"Lo lama banget, anjir, Bang Cal sama yang lainnya udah nungguin di studio musik," kata Austin setelah posisinya sudah berada di dekat tempat aku dan Joshua berdiri.

"Lha, bukannya langsung dipanggung?" tanya Joshua.

Austin menggelengkan kepalanya. "Kita latihan di sana dulu, panggung mau dipakai sama anak seni tari."

"Oh, gitu," balas Joshua lalu ia melirikku. "Lo mau ikut bareng kita atau nyari Arissa sama Avi?"

"Gue nyari Arissa sama Avi aja deh," jawabku. "Lo berdua ada lihat Arissa atau Avi gak?"

"Ada, mereka lagi di kantin," jawab Matt.

"Mau gue anterin gak, Bel?" tawar Joshua.

Aku menggelengkan kepalaku. "Engga usah, Josh, lo langsung ke studio musik aja, kasihan Bang Cal udah nungguin lo."

Catch Fire × Calum Hood || ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang