1 × 1

776 49 14
                                    

Aku menghembuskan napasku dengan kasar. Aku baru saja mengingat sesuatu yang berhasil membuatku kesal dan juga membuatku tidak berniat untuk melakukan apa yang seharusnya kulakukan, yaitu bertemu dengan Arissa dan Avicenna.

Ini sudah ketiga kalinya aku mengingat sesuatu itu. Sudah genap tiga tahun aku tetap seperti ini, tetap terperangkap di dalam kisah masa lalu yang seharusnya sudah kutinggalkan. Seharusnya sudah kutinggalkan karena lawan mainku sudah terlalu jahat kepadaku, ia sudah terlalu tega kepadaku. Tapi bodohnya aku, aku tak bisa keluar dari kisah itu.

Aku tidak tahu pasti apa yang menyebabkan diriku tetap terperangkap di kisah masa lalu yang seperti sebuah jebakan itu. Tapi yang jelas, lawan mainku dalam kisah masa laluku itulah yang membuatku gagal keluar dari lingkar kisah masa lalu yang menyedihkan itu.

"Ya ampun, Kak, kenapa muka lo agak aneh gitu sih?" tanya Aretha yang tadinya sedang sibuk memainkan ponselnya namun karena aku sedang seperti ini, dia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dari benda pipih itu.

Aku menggelengkan kepalaku, pertanda aku merasa wajahku tidak aneh dan memang tidak aneh. Kalau saja Aretha adalah orang yang memiliki daya ingat yang kuat, ia pasti sudah tahu apa yang menyebabkan diriku seperti orang paling menyedihkan di dunia ini.

Aretha memperhatikan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya lalu berkata, "Tanggal 15 September. Pantas."

Aretha masih ingat ternyata. Sepertinya dalam beberapa menit ke depan, Aretha akan kembali mengatakan kata-kata yang sudah dua tahun berturut-turut selalu ia ucapkan ketika tanggal 15 September datang menghampiri.

"Kak, gue udah bilang sama lo dua kali, Kak, dua kali dan gue tau lo masih ingat apa yang gue bilang," ujar Aretha. "Jadi tolong, Kak, tolong banget, lupain dia, Kak. Dia itu udah bahagia sama Kak Sheyna. Kakak harus terima itu."

Aretha benar. Aku memang harus melupakannya dan harus menerima apa yang ada. Aku harus bisa melupakannya beserta dengan kenangan yang ia berikan. Aku juga harus bisa menerima apa yang ia punya, aku harus bisa menerima kalau dia sudah berbahagia dengan temanku dulu.

Ya, temanku. Teman yang tadinya kuanggap sebagai teman terdekatku selama masa sekolahku adalah orang yang sama dengan orang yang sekarang mengisi hati orang yang sampai detik ini masih kuberi rasa.

Aku menggunakan kata 'dulu' karena sampai saat ini, dia tidak pernah mengabariku atau semacamnya. Aku sudah pernah mencoba untuk tetap berkomunikasi dengannya, akan tetapi tak berhasil. Bukan hanya karena dia yang tidak mau lagi berteman denganku, tetapi juga karena kurasa, aku dan dia sudah tak pantas untuk berteman. Jika aku dan dia terus berteman, maka aku akan menyukai pacar temanku sendiri dan itu adalah pantangan bagiku.

"Lupain dia itu susah, Tha," ucapku memecahkan keheningan yang telah kubangun di antaraku dan Aretha. "Dia itu orang pertama yang ngenalin gue sama yang namanya kebahagiaan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh sebuah perasaan yang bisa dibilang rasa cinta."

Aretha menggeleng-gelengkan kepalanya lalu ia bertepuk tangan layaknya aku baru saja mengatakan sesuatu yang sangat layak untuk dipublikasikan dan diberi hak paten. "Gila, gila, gue gak nyangka lo bakalan semenggelikan itu."

"Tha, kalau gue pindahnya ke Jeremy gimana?" tanyaku. Sebenenarnya aku tidak bermaksud untuk bertanya seperti itu, aku hanya merasa bahwa apa yang tadi kukatakan sangat menggelikan sehingga aku harus segera meninggalkan topik itu.

"Lo serius mau pindah ke Bang Je?" tanya Aretha tak percaya.

Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak mungkin menganggukkan kepalaku karena kalau aku mengangguk, maka Aretha akan dengan senang hati mendekatkanku dengan Jeremy.

Catch Fire × Calum Hood || ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang