Bab 15. Penyangkalan

Start from the beginning
                                    

*****

Sejak merenung di belakang sekolah, gadis metropolitan itu sedikit paham arti berdialog dengan Tuhan. Dia jadi semakin rajin salat, berdzikir, bahkan berdoa.

Tidak hanya itu, Maya juga sering membantu Parmi memetik bunga potong di rumah kaca, membantu memasak di dapur—walaupun seringnya malah bikin kacau—bahkan rutin menyapu lantai dan membersihkan rumah—kata artikel yang ia baca, kebersihan ikut membantu pasien kanker bertahan hidup lama.

Perubahan itu dilihat oleh Darma dan Parmi. Keponakan mereka berubah total menjadi anak baik dan penurut. Perubahan yang sangat mengharukan.

Seperti sore ini, setelah Parmi salat, hendak membaca Qur'an—kegiatan rutin yang selalu terdengar dari luar kamar—Maya mengetuk pintu kayu itu perlahan, "Bude, boleh aku masuk?"

Parmi urung membuka Al-Qur'an. Kepalanya menoleh ke arah pintu, "Mlebuo. Ono opo? (Masuklah. Ada apa?)"

Wanita setengah baya itu sengaja berbahasa Jawa agar keponakannya terbiasa dan lama-lama bisa. Memang benar. Gara-gara sering mendengar percakapan dalam bahasa Jawa, lambat laun Maya jadi paham. Practice makes it perfect.

Telapak kakinya yang dilapisi sandal jepit memasuki kamar berukuran 2 x 3 meter, lalu duduk bersimpuh di depan Parmi yang masih mengenakan mukena, "Aku mau minta tolong."

Parmi menatap Maya curiga, "Njaluk tulung opo? (Minta tolong apa?)"

Maya melirik Al-Qur'an yang dipangku Parmi, "Bude kan pinter banget baca Al-Qur'an, aku minta diajarin, boleh?"

Ada raut terkejut dalam wajah wanita desa ini, tapi sejurus kemudian kembali datar, "Boleh, tapi Budemu ini galak. Kalau minta diajari ya harus serius belajar. Jangan mogok di tengah jalan. "

Maya malah tertawa mendengar jawaban Parmi, "Ya ampun, kok jawaban Bude sama kayak Jaka? Kemarin waktu aku minta tolong diajari sholat sama Jaka, dia juga bilang kalau dia galak." Tawanya berganti dengan senyuman hangat, "Ibu dan anak sih ya, jadi kompak jawabannya."

Parmi terdiam. Sejak kapan keponakan berandalannya jadi seramah ini? Lalu berdeham, "Yo wis, kapan mau mulai?"

"Sekarang aja."

Tadinya Parmi mau melanjutkan bacaan pada juz 30, tapi pahala mengajari anak membaca Al-Qur'an itu lebih jariyah, maka ia putuskan untuk menerima permintaan tolong keponakannya.

"Sik bentar, tak ambilkan Iqro dulu. "

Wanita itu berdiri untuk mengambil Iqro milik Jaka dulu dari rak rotan di sebelah lemari pakaian, lalu kembali duduk bersila di depan Maya untuk memulai pelajaran Iqro.

Darma baru saja kembali dari sawah, berencana mengambil baju di lemari, tetapi urung ketika melihat pemandangan itu. Istrinya sedang mengajari Iqro keponakan satu-satunya. Ada kehangatan merambati hati. Senyuman lega terkembang di bibirnya.

Istri dan keponakannya telah akur kembali. Alhamdulillah ....

******

"Ya Allah, beras tiga gelas jadinya cuma segelas gini habis kamu cuci?" Parmi mendelik pada baskom di tangannya.

Maya meringis, "Namanya juga masih belajaran, Bude." Menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Kamu itu udah dibilangi berkali-kali, kalau nggak bisa nyuci beras pake tangan, itu ada saringan!" Telunjuk Parmi mengarah pada saringan kehitaman yang menggantung pada dinding triplek kayu.

Maya semakin meringis melihat saringan itu. Ya mending pake tanganku, lebih bersih ketimbang tuh saringan, jijay ...

"Ribet, Bude. Cepetan pake tangan. " Maya berdalih, malas berdebat dengan Ibunya Jaka.

"Pancene kowe sing males (memang kamu pemalas). Wis kono, siap-siap berangkat sekolah. Nggak usah ngerusuhi Bude kerja di dapur. " Parmi mendorong Maya menjauhi dapur.

Maya berdecak. Niat baiknya malah dianggap bencana oleh Parmi. Ya Sudah. Lebih baik dia menikmati udara subuh yang masih segar.

Berjalan keluar rumah, Maya menjumpai Jaka sedang terbungkuk. Kepalanya terhalang onggokan jerami kering. Cemas akan terjadi sesuatu pada sepupunya, Maya segera berlari menghampiri, "Jaka kamu kenapa?"

Dengan satu gelambir ingus di hidung, Jaka menoleh ke arah Maya, "Hah?"

Sontak Maya memekik jijik, "Ewh!"

Tak mempedulikan reaksi sepupunya, Jaka kembali mengeluarkan ingus dari hidungnya. Ah, lega ....

"Ada apa?" tanya pemuda itu setelah mengusap jari bekas ingus ke batang pohon mauni di depannya.

Maya kembali meringis jijik, "Aku pikir kamu mimisan lagi." Matanya memicing untuk menajamkan penglihatan. Wajah Jaka tampak normal, tidak pucat.

"Kerjaanku nggak cuma mimisan, asal kamu tahu. " Jaka mengambil garu dari tumpukan jerami, mulai sibuk menggaruk dan menata.

Maya duduk di batu besar sekitar tiga meter dari Jaka. Baby doll satinnya terlalu tipis untuk udara dingin subuh ini. Dia menekuk kedua lutut untuk dipeluk, kemudian diam mengamati Jaka bekerja.

Jaka melirik Maya sekilas, "Kalau dingin masuk ke rumah, jangan dipaksain kuat." Tangannya masih sibuk menata jerami di atas terpal plastik.

"Kamu nggak dingin?" tanya Maya penasaran.

"Udah biasa, " jawab Jaka.

Maya mengangguk paham, "Rumahmu sih, jadi udah biasa. Di Jakarta udaranya nggak pernah sedingin ini. Kecuali hujan badai tujuh hari tujuh malam. Itu pun harus pake banjir dulu. "

Jaka berhenti untuk menatap Maya, "Serius?"

Maya mengangguk kuat, "Serius."

Setelah menutupi mulut dengan kerah kaos untuk bersin, Jaka meneruskan pekerjaannya, "Mungkin aku nggak akan betah tinggal di kota seperti Jakarta."

Maya terdiam. Pikirannya berandai. Andaikan Jaka ke Jakarta pasti banyak cewek berlomba jadi pacarnya. Siapa yang akan Jaka pilih, salah satu dari mereka atau dirinya?

Maya mengerjap, tersadar akan pikirannya yang melantur, lalu berfokus lagi pada pekerjaan Jaka. "Itu mau dibuat apa sih?"

Jaka tidak menghentikan pekerjaannya. "Jerami ini?"

Maya mengangguk, meskipun Jaka tidak menoleh padanya.

"Mau dibikin pakan ternak. Tapi harus difermentasi dulu, " jelasnya sembari menyandarkan garu di batang pohon.

"Kenapa harus difermentasi dulu?" tanya Maya penasaran.

"Dengan difermentasi, bakteri-bakteri baik akan membantu kerja pencernaan sapi. Jadi ini semacam yogurtnya para sapi." Jaka mengambil botol di sebelah jerami yang sudah ada sejak Maya datang, lalu menuangkan ke atas jerami.

"Duh, jadi pengen yogurt, udah lama nggak minum begituan," keluh Maya. Dalam otak dia mencoba menghitung sudah berapa lama dia tidak minum yogurt yang kata para pakar bagus untuk pencernaan, tulang dan kulit.

Jaka tersenyum tipis, "Nanti pulang sekolah kita beli yogurt."

Maya membeliak, "Beneran?"

Jaka mengangguk, "Beneran. Syaratnya, kamu harus sudah hafal surat Al-Ashr. "

Maya kembali murung. Surat Al-Ashr itu lumayan panjang. Dia baru saja membacanya beberapa waktu yang lalu di kelas. Masa iya sekarang sudah harus hafal?

"Nanti aku bantu hafalin." Jaka memberi harapan. "Kalau kamu hafal, selain yogurt kamu juga boleh beli es krim. "

Sembari mengangguk, wajah murung itu berganti semringah. Maya tersenyum senang, menular pada Jaka yang ikut tersenyum.

Sebelum bergantian mandi dan berangkat sekolah, mereka membicarakan hal remeh selama Jaka menyelesaikan pekerjaan fermentasi jerami.

Tidak ada yang menyinggung penyakit itu. Baik Maya maupun Jaka berlagak seolah semuanya baik-baik saja. Semua normal seperti biasa.

My JackWhere stories live. Discover now