Bab 15. Penyangkalan

Start from the beginning
                                    

Maya bergegas bangkit dari duduknya di tanah. Ketika berbalik, Jaka sudah berdiri di hadapannya. Tubuh pemuda itu membungkuk. Kedua tangan bertumpu pada lutut dengan napas tersengal. Dia baru saja berlarian untuk akhirnya sampai di tempat ini.

"Ternyata di sini. Aku pikir kamu pulang sendirian lagi." Jaka kembali menegakkan punggung, "Sedang apa kamu di sini?"

Sontak Maya membersihkan wajah sembabnya cepat-cepat. Jangan sampai Jaka tahu dia baru saja menangis, "Nggak. Ini loh, aku kesusahan ngafalin surat apa tadi? Gara-gara banyak gangguan di masjid, jadi ngungsi di sini," jawabnya berbohong, memasang senyuman senormal mungkin sembari menunjukkan buku juz amma.

"Surat Al-ikhlas?" Kening Jaka mengerut. Sejauh yang ia tahu, surat itu paling mudah di antara surat lainnya.

Maya mengangguk asal. Dia memang tidak hafal nama suratnya, tetapi apa yang dibaca tadi tidak terlalu sulit masuk otak.

"Kita hafalin di kelas. Pelajaran Kimia gurunya nggak masuk, " ajak Jaka yang ditanggapi anggukan Maya.

Berjalan bersisihan, sesekali mata Maya melirik Jaka. Banyak hal ingin ia tanyakan terkait leukimia maupun Septi. Namun, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Maya terlalu takut membahas itu semua, takut jika hubungan mereka kembali merenggang. Padahal mungkin waktu yang Jaka miliki tidak banyak. Ya, Tuhan.

Mengingat hal itu saja, air matanya sudah tergenang lagi. Sebelum Jaka melihat, cepat-cepat ia usap sudut matanya yang sudah berair.

Sampai di kelas, Jaka memenuhi janji, membantu Maya menghafal surat Al-ikhlas. Setelah beberapa kali dibaca dan gadis itu hafal, Jaka menambah surat Al-ashr sebagai target hafalan berikutnya.

Kegiatan menghafal itu terlalu mengasyikkan bagi mereka, hingga tanpa sadar bel pulang telah berbunyi. Para siswa segera berhamburan keluar kelas untuk menyambut kebebasan masa remaja.

Sementara Maya sedang memakai cardigan, Jaka menenteng tas punggung, lalu datanglah Septi menghampiri bangku mereka, "Jaka, aku tunggu keputusanmu. Ini demi kamu. Tolong, pikirkan baik-baik."

Menanggapi ucapan Septi, Jaka hanya diam dengan wajah datar. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, bahkan ketika Septi pergi pun pemuda itu masih bergeming.

Maya menatap Jaka penuh selidik. Sungguh mati dia penasaran. Apa maksud ucapan itu? Keputusan apa yang Septi maksud?

Kendati begitu, Maya memilih untuk diam, menahan rasa penasarannya. Apa pun yang berpotensi mengganggu kestabilan hubungannya dengan Jaka, lebih baik dihindari dulu. Untuk saat ini, semua harus baik-baik saja.

"Jak, ayo pulang. Nanti keburu rame angkotnya." Maya menyunggingkan senyuman.

Mau tidak mau, senyuman itu menular pada pemuda yang masih termenung. Kemudian mereka berjalan keluar kelas menuju gerbang sekolah untuk mencari angkot.

Sejak vonis leukimia diterima, baik Maya maupun Jaka tidak pernah ada yang membicarakan. Bahkan kedua orangtua Jaka tidak ada yang tahu. Jaka juga tidak tahu bahwa Maya sudah tahu penyakit itu. Ia bersikap sehat dan normal seperti anak remaja seusianya.

Sebuah bentuk penyangkalan demi kewarasan batin.

Tetapi diam-diam, masing-masing dari mereka saling mencari tahu segala hal tentang kanker darah. Maya sering mengorek informasi dari Tony terkait jenis dan tahapan leukimia yang diderita sepupunya.

Jaka semakin sering pergi diam-diam menemui Septi. Awalnya kesal, tapi setelah tahu dari Tony bahwa pemuda itu sedang mencari solusi dibantu bapaknya Septi yang seorang dokter, Maya berusaha mengerti.

My JackWhere stories live. Discover now