46 - ending

80.7K 4.4K 361
                                    

Bulan menarik napasnya dalam. Setelah beberapa bulan lalu berpisah dengan sosok Bintang, Bulan merasa hidupnya benar-benar hampa. Kosong tak bersisa. Beruntung karena keadaan keluarganya sudah membaik. Jadi, Bulan tidak merasa terlalu kehilangan.

Bulan memutar gagang pintu rumah sakit. Dengan sengaja, ia mampir ke rumah sakit tempat Bumi dirawat. Tadi subuh Bulan mendapat kabar bahwa Bumi sudah sadarkan diri. Bulan senang. Maka dari itu, ia menyempatkan waktunya sebelum kuliah untuk menjenguk Bumi.

"Hai Bumi!" Sapa Bulan ceria pada Bumi yang sosoknya terlihat sangat pucat. Bumi mengangkat garis abu-abu bibirnya agar melengkung ke atas.

"Lama amat hibernasinya. Gue kangen tau..." curhat Bulan pada Bumi seraya duduk ke kursi di samping ranjang Bumi.

"Udah makan?" Tanya Bulan yang dibalas Bumi dengan anggukan.

"Lan, berapa lama gue tidur?" Tanya Bumi membuat Bulan harus berpikir keras. Pasalnya, ia lupa sudah berapa lama Bumi tak sadarkan diri. Yang jelas sudah berbulan-bulan.

"Lupa gue. Lama yang jelas. Kenapa?"

"Kalau gue pergi lebih lama lagi, lo pasti udah terbiasa, ya?" Bulan menghentikan pergerakan tangannya yang sejak tadi memainkan jemari Bumi. Tatapannya berubah tajam karena ucapan tak seharusnya yang keluar dari mulut Bumi.

"Maksud lo apa?! Gak usah mikir aneh-aneh ya!"

Bumi hanya terkekeh. Kekehan yang terdengar sangat lemas dari biasanya. Biasanya? Bulan bahkan masih ingat kekehan Bumi yang biasanya? Hah, sepertinya iya.

"Kak Alex..." ucap Bulan menggantung di udara. Berniat untuk mengetes apakah Bumi sudah tahu kabarnya atau belum. Dan ternyata...

"Iya. Gue udah tau. Gak usah ngerasa gak enak, kesalahan emang patut dituntut."

Bulan menghembuskan napasnya kasar. Tetap saja ia merasa tak enak hati pada Bumi. Selama ini, Bumi selalu bersikap baik padanya. Meski terkadang membuat Bulan menangis karena rasa cemburu. Tapi, rasanya tak pantas jika balasan yang Bulan berikan adalah ini semua.

"Lan, lo udah gak SMA lagi, ya?" Tanya Bumi membuat Bulan kembali tersenyum dan mengangguk.

"Kapan mulai ngampus?"

"Hari ini."

"Oh iya? Lo gak telat, kan?"

"Enggak. Tenang aja. Lo gak tanya gue ambil fakultas apaan?"

Bumi kembali terkekeh. Tapi, Bulan masih belum senang. Karena lagi-lagi kekehan itu malah terdengar memilukan di telinga Bulan. Tidak seceria dulu. Kapan Bumi akan pulih?

"Ambil fakultas apa emang? Hukum?"

"Salah! Kedokteran dong..."

"Iya? Lo mau jadi apa emang?"

"Jadi... dokter psikolog! Kaget gak lo?! Kaget kan... kaget kan..."

Bumi menggeleng dengan wajah polosnya. "Enggak. Biasa aja tuh! Lo kan emang pinter, mau masuk mana pun bisa."

"Sa ae lo kutil kuda!"

"Belajar yang bener ya, Lan? Tetep jadi Bulan yang kayak gini. Ceria terus, meski tanpa gue. Kuliah yang semangat! Gue pengen liat lo pakai jas dokter, bukan beli tapii. Meski belum tentu nantinya gue liat, tapi gue mau lo capai cita-cita lo!"

Bulan mengerjapkan matanya dua kali. "Kok tiba-tiba omongan lo jadi horror gini sih..."

Bumi hanya tersenyum dan memejamkan matanya sejenak. Jika tidak dalam keadaan seperti ini, Bulan pasti sudah tenggelam dalam pesona cowok ini. Dalam keadaan sakit saja masih menawan. Apalagi kalau sehat.

Bumi, Bulan, Dan Bintang (Complete)Where stories live. Discover now