11. Fraternity☕

Começar do início
                                        

Baik Rama, Cassy, Erva, maupun Naya terperangah dan menatap Chelia bersamaan. "Chelly juga?!"

"Maaf ...," desah Chelia. "Sebenarnya itu hukuman untukku, tapi Rean dan Edward yang menggantikan."

"Tidak usah tidak enakan begitu, itu memang bukan kerjaan perempuan." Rean menepuk punggung Chelia dan mendelik pada Edward.

"Ah, aku nggak bermaksud menyinggung kamu, Chelly. Sumpah!" Edward menyatukan kedua sisi tangannya.

"Tunggu! Ini ada apa, sih?!" sela Cassy.

"Kak Aldo mau ajak Chelly ke bazar nanti malam--"

"Nggak bisa!"

"Dengar dulu!" Edward berdecak pada Rama yang langsung menggebrak meja. "Chelly menolak, makanya Kak Aldo marah dan menghukumnya untuk bawa tiga jirigen aquadest 30 liter itu ke laboratorium. Aku bantu bawa satu, Rean dua."

"Enak banget main asal suruh! Bahan dan alat itu kan tanggungjawab laboran sama asisten!" Cassy merutuk.

Rama berusaha menahan emosi, ini bukan kali pertama ia mendapati ketidakprofesionalan asisten dalam praktikum. Ronaldo Setya atau Aldo itu adalah senior satu tingkat di atas mereka yang pernah menyatakan persaannya pada Chelia namun bertepuk sebelah tangan. Menurut gosip yang tersebar, Aldo sengaja mendaftar sebagai asisten untuk melampiaskan dendam atas perasannya yang tak terbalaskan.

"Aku kan bisa bantu, kalian kenapa nggak bilang!"

"Kamu yang jarang olahraga mau angkat berat? Yang pegal siapa, yang repot siapa. Bisa-bisa aku sama Edward nggak tidur lagi karena kamu merepek terus."

"Aku bisa sewa kuli!"

"Ribet lagi urusannya!"

Rama meringis. "Bikin emosi saja tuh Ronaldowati. Kenapa nggak langsung kamu hajar saja sih?!"

"Lusa dia sidang hasil."

"Mau dia gelar sidang BPUPKI yang ke-3 juga bodoh amat!"

Rean memejam erat. Kalau menuruti keinginan, sudah akan ia habisi senior yang dibencinya itu. Rean sudah lama menyimpan rasa pada Chelia, namun tidak pandai menunjukkan secara terang-terangan. Tapi bagaimanapun juga, yang memulai kekerasan fisik duluan selalu dianggap bersalah. Padahal serangan emosional terkadang jauh lebih menyakitkan.

Deringan dari ponsel Rean menjeda perbincangan mereka.

"Dari Rumy." Rean menunjukkan profil Rumy--ketua angkatan mereka yang tertera di layar panggilannya.

"Dih, foto profilnya nggak banget!" komentar Cassy.

"Mirip kakeknya Maruko-chan nggak sih?" timpal Rama.

Rean memberi death glare pada Cassy dan Rama. Duo kritikus itu kontan mendesis dan membuat peace sign dengan ibu jari dan telunjuk.

"Aku angkat dulu." Rean menggeser ikon answer call kemudian bertukar salam dan bertutur panjang lebar, meski yang lain hanya mendengar gumamam tidak jelas.

"Kenapa, Rean?" tegur Chelia begitu Rean memutuskan sambungan teleponnya dengan air muka tegang.

"Kak Aldo, laptopnya meledak."

Prescriptio☕  Onde histórias criam vida. Descubra agora