20. Praecursor ☕

Start from the beginning
                                        

"Kami perginya berempat, Rean," tutur Erva dengan polosnya.

"Maksudku kalian semua perempuan. Bahaya."

"Tidak usah repot-repot. Kami bisa menjaga diri, kok!" Chelia mengibaskan tangannya di udara.

"Kami nggak merasa kerepotan sama sekali, Chelly," tandas Edward.

Chelia mengeluh dalam hati. Harusnya mereka pergi diam-diam saja. Kalau sudah begini, tiga serangkai dari Rama, Rean, dan Edward akan terus menunggui-tepatnya mengawasi mereka. "Tapi kalian tidak mungkin ikut masuk, kan? Klinik ini khusus perempuan."

"Ada gedung olahraga di samping klinik kecantikan itu. Kami bisa menunggu di sana," jawab Rean asal.

Chelia mengerutkan kening, "Bukannya di samping klinik ini toko bahan bangunan?"

Oh, sial! Rean mengumpat pada dirinya sendiri. Berbohong pada Chelia yang memiliki ingatan superior ternyata lebih sulit dibanding menjabarkan persamaan Schrödinger. Sekarang ia sudah kehabisan kata.

"Toko bahan bangunan itu di sebelah mana, Chelly?" Rama mengambil alih pembicaraan.

"Di sebelah kanan."

"Nah! Gedung olahraga yang kami maksud itu tepat di sebelah kirinya."

Chelia pura-pura mengingat lagi. "Ah, aku salah! Toko bahan bangunan itu di sebelah kiri."

Rean dan Edward langsung menghujamkan tatapan maut pada Rama.

"Betul sekali!" Rama menjentikkan jari dan dengan tenangnya membenarkan.

"Tadi kamu bilang gedung olahraga itu di sebelah kanan!" protes Chelia.

"Maksudku sebelah kanan kalau dilihat dari sisi berlawanan, Sweetheart." Rama berdalih, "Berdasarkan hukum Fisika, posisi suatu benda itu bersifat relatif. Tergantung perspektif pengamat. Benar kan, Rean?"

Dengan sangat terpaksa Rean pun mengiyakan.

"Tidak ada orang yang menentukan posisi dengan membelakangi objeknya, Rama," balas Chelia masih sebelum menyerah.

"Ada, Sweetheart. Tiga orang. Aku, Rean, dan Edward."

Chelia menggembungkan pipi. Sebenarnya ia pun hanya mengarang bebas untuk mencegah keikutsertaan Rama, Rean, dan Edward yang kadang terlalu protektif dan bisa membatasi ruang gerak mereka. Namun Rama terlalu sulit dibantah, bahkan dengan ingatan superiornya.

"Ah, aku baru ingat lagi! Di sebelah kiri klinik itu bukan gedung olahraga tapi toko roti. Di sebelahnya lagi jalan raya jadi jangan bilang kalau gedung olahraga itu ada di sebelah toko roti."

Rama tertawa. "Kita tidak akan bilang begitu kok," Rama merendahkan nada bicaranya, "karena sebenarnya toko roti itulah yang sekarang menjadi gedung olahraga," sambungnya setengah berbisik.

"Bagaimana bisa?!"

"Bisa. Sekarang harga tepung terigu semakin naik. Pemilik toko roti itu hampir bangkrut dan kehilangan harapan sehingga banting setir mendirikan gedung olahraga."

Chelia menghela napas panjang pada akhirnya. Berdebat dengan Rama memang bukanlah pilihan yang bijak.

"Ada pesan dari Cassy." Suara Erva menyela, menyita seluruh perhatian.
"Katanya Falak kena diare."

Prescriptio☕  Where stories live. Discover now