Arya memejam erat, mengenang masa lampau. Ingatannya jatuh pada masa-masa di dua belas tahun silam saat dirinya tak lebih dari seorang remaja labil. Saat itu ia tidak bisa menerima keputusan ibunya yang lebih memilih meninggalkan rumah dan merawat Rama. Apalagi untuk menerima kenyataan ketika kedua orang tuanya memutuskan hubungan. Arya pun bersikap dingin dan seringkali mengabaikan panggilan dari sang Ibu, bahkan tak jarang berlaku kasar bila ibunya membawa Rama saat mereka bertemu. Padahal ia tahu, Rama kecil yang menatapnya penuh pengharapan hanya butuh pelukan hangat, yang dulu dapat dengan mudah ia dapatkan darinya. Sungguh, Arya merasa menjadi kakak paling jahat sedunia.
Arya menyeka setetes air di sudut matanya. Penyesalan terbesar dalam hidupnya adalah tidak berada di samping sang ibu saat wanita yang paling disayanginya itu berjuang melawan penyakit sirosis hati hingga harus berpulang ke pangkuan Tuhan. Arya yang merasa iri pada Rama kemudian melimpahkan beban perasaannya pada adiknya tersebut.
Ini semua gara-gara kamu! Ibu tidak bisa hidup bahagia dan jadi sakit karena kamu! Kamu membunuh ibu!
Arya menggeleng kuat, menyadari betapa kejam kata-katanya pada Rama yang masih kecil saat itu. Arya tahu, kesalahannya itu tidak terampuni. Bahkan setelah menjadi wali dan menggunakan jatah "kursi" yang dimiliki tiap pimpinan fakultas untuk membantu Rama mengikuti dunia perkuliahan, perasaan bersalahnya tak kunjung hilang.
Mata Arya membulat begitu melihat status bar Rama yang sedang online. Arya menekan call-button dan berharap-harap cemas. Ada sepercik perasaan bahagia saat telinganya menangkap suara menggerutu dari seberang.
"Kenapa? Ganggu orang malam-malam saja! Mau kirim santet online?"
"Aku cuma mau memastikan keadaanmu."
Rama tertawa ringan. "Mengkhawatirkanku, ya?"
"Ya."
Rama di balik telepon mengulum senyum. "Aku baik-baik saja. Pipiku bengkak tapi aku masih tampan. Jangan khawatir, oke?"
"Oke. Terus kenapa chatku tidak kamu balas, bocah?"
"Malas."
"Rama!"
"Apa? Jangan teriak-teriak, nanti gendang telingaku rusak! Nggak ada garansinya, tahu! Kalau pecah mau diganti dengan apa? Gendang bulo?"
Arya diam-diam menahan tawa. "Besok habis praktikum ke kantorku sebentar. Kita makan malam sama-sama."
"Berdua?"
"Iya."
"Nggak deh, nanti kita disangka LGBT."
"Jangan mengada-ada!"
"Bagaimana kalau diganti jadi makan siang saja?"
"Kamu ada praktikum, bukan?"
"Aku akan izin."
"Memangnya bisa?"
"Bisa kalau kamu mau memintakan izin untukku."
"Jangan harap!"
"Ya, sudah. Makan saja sendiri. Telingaku panas nih, aku tutup--"
"Tunggu!" Arya menghela napas sesaat. "Oke, berikan nomor asistenmu, biar nanti aku yang hubungi. Istirahat siang besok ingat ke kantorku. Kita makan siang di luar."
Arya mengurut dahinya begitu teleponnya dengan Rama terputus. Sekali-kali menggunakan kekuasaannya tidak masalah, kan? Lagipula, Arya tahu betapa melelahkannya kuliah di jurusan Farmasi. Nadella, sahabatnya dulu pun sering kali mengeluh. Andai saja ada "jatah" kursi untuk jurusan selain farmasi, Arya tidak akan tega menempatkan Rama di jurusan super sibuk tersebut.
YOU ARE READING
Prescriptio☕
Mystery / ThrillerMenjadi mahasiswa farmasi yang super sibuk seolah cobaan yang belum cukup bagi Rama dan kawan-kawannya. Berbagai kejadian misterius terjadi pada orang-orang yang memiliki masalah dengan salah seorang di antara mereka. Ketika persahabatan diuji oleh...
13. Diagonally☕
Start from the beginning
