Part 32 | Ultrasonik

86.5K 8.9K 4.5K
                                    

KETIKA kamu tinggal terlalu lama di satu tempat, kamu akan lupa betapa luas membentang dunia ini sebenarnya. Itulah kenapa saat kamu terluka di satu posisi, kamu harus lekas keluar dari sana agar pikiranmu tak terpenjara rasa.

Genggaman Gladys pada tangan mamanya mengerat. Ia menempelkan keningnya di sisi ranjang. Hangat.

"Ma, bilangin Tuhan, dong. Aku tuh penginnya genre humor aja buat hidupku, jangan angst apalagi horor begini. Kalau ketemu jumpscare, yang bisa kupeluk cuma diri sendiri," keluh Gladys. "Tanyain juga siapa jodohku ke Tuhan, Ma. Kalau aku bunuh diri, nanti dibego-begoin sama malaikat enggak? 'Jodoh lo itu Tae-hyung BTS. Dodol banget lo bunuh diri!' Kan, aku auto bangkit dari kubur lagi, Ma."

Batas pertahanannya nyaris amblas detik ini, tetapi ia berusaha meneguhkan diri. Penginnya sih dashi run, run, run dari hidup, sayangnya not today karena bebannya masih banyak.

Gladys memungut tas sekolahnya di lantai. "Hari ini, Adis evaluasi sama Pak Anan, Ma. Doain semoga enggak kena mental, ya. Udah mabok wejangan dari Kak Varel soalnya, Ma."

Bersama langkah beratnya, Gladys pamit berangkat ke sekolah dengan sepeda. Fathan sedang tidak enak badan, makanya Gladys ke rumah sakit lalu bablas ke sekolah sendirian.

Pukul tujuh kurang sepuluh menit, ia parkir di tempat yang tersedia. Varel rupanya sudah menunggu di kursi depan ruang guru. Cowok yang hari ini sama-sama punya mata panda kayak Gladys itu kelihatan asyik berbincang dengan dua orang guru perempuan.

"Tahun lalu, nilai ujian nasional Matematika kakak kelasmu tertinggi sekabupaten, loh. Tahun ini kamu harus bisa ngikutin jejaknya, Rel."

"Iya. Si Faya itu matematikanya seratus, Rel. Tanpa bimbel. Rata-rata ujiannya juga tertinggi nomor tujuh nasional," kata guru satunya.

Gladys tidak paham siapa saja namanya. Setahu dirinya, dua guru tersebut mengajar di kelas dua belas. Demi sopan santun, ia bersandar sejenak di pilar terdekat selagi menunggu Pak Anan muncul dan Varel selesai mengobrol.

Lagi, cowok itu mengangguk. "Wah, pinter banget, ya, Bu. Saya mah apa atuh? Cuma butiran pasir kalau dibandingin sama Kak Faya."

"Hush! Kamu itu harapan Senjayana tahun ini, Rel. Makanya jangan mau kalah. Wajib pasang target." Nada sang guru menguat. "Usahain seratus, ya, buat Matematika sama Bahasa Inggris. Gampanglah, nanti Ibu kasih reward khusus buat kamu."

"Iya, si Evan juga tek omongi kemarin. Cah loro iki saingan tapi batir perek," ucap guru di sebelahnya. "Pokoknya rata-rata UN-mu harus tembus sembilan puluh supaya ngangkat nama baik SMA kita, Rel. Malu soalnya kalau tahun ini enggak ada murid yang tembus provinsi atau nasional."

"Kamu kan dasarnya udah pinter. Tinggal digiatin lagi belajarnya. Pasti bisalah. Hitung-hitung ninggalin jejak bagus di SMA."

"Kalau perlu, kurangi main sama kegiatan yang enggak mutu, Rel. Basket disetop. Udah bukan masanya lagi ngurusin ekskul. Fokusmu ke detik-detik kelulusan aja. Lagian, emangnya basket bisa bikin kamu masuk kampus bagus?"

Duilah, kuping Gladys panas bukan main mendengarnya. Guru-guru ini sebenarnya sedang menyemangati atau memancing darah tinggi, sih? Nilai UN harus sekian. Target harus demikian. Harus ini, harus itu.

Ngomong memang gampang. Namun, support system-nya ada tidak? Penunjangnya tersedia tidak?

Begitu dua guru tadi pamit persiapan mengajar, Gladys duduk di depan Varel yang masih tersenyum manis.

"Sumpek enggak, Kak, disuruh ABCD? Banyak cincong banget tuh guru!" dumal Gladys. Ia menarik-narik taplak meja segiempat untuk menutupi pahanya yang terbuka sewaktu duduk.

Heliosentris [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang