Part 7 | Black Hole

137K 12.6K 1.1K
                                    

SEJAK berlakunya perjanjian itu, mereka benar-benar puasa berantem. Keduanya senantiasa rukun, lebih memilih diskusi ketimbang emosi, tidak suka ribut lagi, dan sepenuhnya fokus mengurusi rumus fisika yang ruwetnya setengah mati. Aman. Sentosa. Bahagia.

Kata-kata sejenis itu yang diharapkan para pembaca, 'kan? Jika iya, kasihan. Ululu... ngayalnya kebablasan.

Rukun apanya kalau Varel tidak segan-segan menggetok Gladys pakai bolpoin sewaktu salah jawab?

"Perasaan, materi kalor udah diulang-ulang dari SD, deh. Lo kebanyakan ngorok ya pas pelajaran?" tuduh Varel ketika Gladys mengaku tidak ingat rumus.

Kapasitas otak Gladys yang berkali-kali mengirim pesan "ruang penyimpanan hampir penuh" tersinggung habis-habisan. Dia mendadak berhenti menulis materi.

"Emangnya Kak Varel enggak tahu ya semboyan siswa zaman sekarang?" Mata Gladys bersitatap dengan Varel yang makin mencuramkan alisnya. "Habis ujian, terbitlah lupa. Jangankan materi dari SD. Materi minggu lalu aja gue lupa."

Tok!

Bolpoin hitam Varel langsung menggetok jidat Gladys. Mata cewek itu sampai berair karena jerawatnya yang kena, bukan dahinya. Nyut-nyutan minta ampun.

Tak berhenti di sana, cowok itu tambah ngegas. "Biar lo inget rumus ngitung kalor selamanya, inget aja gue yang pengin mecat lo jadi murid pas materi ini. Enggak sekali lo ketemu kalor di fisika, tetap aja lupa!" hardiknya. "Massa (m) dikali kalor jenis benda (c) dikali delta suhu (Δt) itu disingkat mecat! Itu rumus kalor, Pikachu Bolot!"

Sepertinya akhlaknya Varel ketinggalan di zaman purba. Sudah memecahkan jerawat Gladys, masih pengin memecatnya dari jabatan murid pula. Tuhan, kalau gitu ceritanya, tolong pecat juga Varel sebagai makhluk bumi. Dia lebih cocok jadi penghuni lubang hitam. Periodt.

"Kerjain lima soal latihan ini. Sepuluh menit waktunya. Kebangetan banget kalau ada jawaban yang salah."

Selesai menerangkan konsep materi hingga rumus yang beranak-pinak, Varel melingkari soal-soal untuk dikerjakan Gladys.

Cowok tunarasa itu nambahin, berlaku hukuman lima kali push-up untuk setiap jawaban yang kurang lengkap. Karenanya, Gladys buru-buru mengerjakan biar selesai tepat waktu.

Sudah dibela-belain, coba tebak apa komentar Varel saat mengoreksi hasil pekerjaannya?

"Ini tulisan apaan? Sandi rumput?" Buku diangkat tinggi-tinggi. Miring kanan, miring kiri, Varel mencoba menemukan sudut yang tepat untuk memahami lewat mata batin. "Bagian depan bisa dibaca, tengah berubah jadi kanji, akhirnya jadi morse. Abstrak banget tulisan lo."

Air muka Gladys berubah mendung. "Mana, Kak?" Ia lantas berusaha membaca tulisannya sendiri. "Oh, ini... gampang. Hm, bentar. Apa, ya? Gue juga enggak bisa baca, Kak. Amburadul."

"Lah, lo yang nulis!"

"Lah, Kak Varel yang nyuruh buru-buru!" Font size, jenis huruf, line spacing abstrak. Varel seperti tidak tahu saja. Saat santai pun tulisan Gladys mirip ceker ayam, ya bayangkan sendiri kalau disuruh ngebut. "Makanya jadi orang tuh sabar! Orang sabar, cepet dapet pacar, obat segala kemarahan yang bikin istigfar."

"Orang sabar mana mau ngajarin lo! Bawaannya pengin gampar!" sewot Varel.

Kecepatan otak Varel dalam menjulidi orang berbanding lurus dengan kemampuannya mengajari materi. Seketika itu juga Gladys paham kenapa tim basket dan voli Senjayana diberi nama COBRA. Mungkin gara-gara kepala sukunya punya mulut seberbisa ini.

Ya elah, ngelus dada.

"Lo tunggu di sini! Jangan ke mana-mana. Gue mau ngadep Pak Priyo bentar."

Jumat siang selepas bel pulang sekolah berdentang, Gladys senderan di pinggir lapangan kayak anak hilang. Kata Varel, mereka nanti bimbingan di luar. Sayangnya, cowok itu perlu mengurusi timnya dulu sebelum pergi dan melarang Gladys ngacir kabur.

Heliosentris [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang