O U R H E L I O S E N T R I S

3.4K 549 109
                                    

TAMAT. Setelah menghapus lalu menulisnya lagi dan lagi selama sepuluh tahun lamanya, cerita itu akhirnya memperoleh kejelasannya.

Ia bertopang dagu, memikirkan kata terakhir untuk menyempurnakannya.

"Siang. Gimana kabar kamu hari ini?"

Pintu ruangan serbaputih itu menjeblak terbuka. Ia sontak mengangkat pandangan dari laptop yang sedari tadi ditekuninya. Tersenyum singkat.

"Baik, Kak. Selalu baik." Ada penekanan khusus pada kata baik. Sosok yang selama ini menjadi teman dekatnya itu memilih duduk di kursi, balas tersenyum. "Yah, jawaban begitu yang pengin didenger kebanyakan orang, kan? So, saya baik. Aih, walaupun sia-sia, sih, ngibul begini. Kakak jelas tahu yang sebenernya. Mana mungkin saya ke sini kalau saya baik?"

Sang lawan bicara tertawa, tak mengelak ataupun mengiakan. "Kenapa baik?" tanyanya.

"Kenapa, ya?" Keningnya berkerut. "Sebenernya dibilang baik juga enggak, buruk juga enggak. Normal. Cuma masih ada hal-hal yang enggak bisa saya singkirin dari kepala. Itu yang bikin saya ke sini."

"Kenapa baik?"

"Idola saya mau comeback, Kak."

"Kenapa baik?"

Erangannya muncul. "Aduh, psikolog emang enggak bisa dikelabuin, ya! Padahal saya mau ngalihin pembicaraan."

Tujuannya merancang seribu jurus berkelit selama menunggu psikolognya kelar isoma rupanya sia-sia belaka. Pada dasarnya sulit berbohong pada sosok yang telah mengenalnya sejak lama. Meskipun begitu, tetap saja ia akan mengulanginya di sesi terapi berikutnya.

Tarikan napasnya memberat, memilih berterus terang ketimbang dicecar lebih banyak. "Kak Psikolog bilang, setiap orang punya metode pulih sendiri-sendiri, kan? Nah, metode saya tuh nulis. Hal-hal yang susah saya ungkapin, ketakutan yang saya sembunyiin, perasaan yang saya enggak bisa jelasin... jemari saya nulis itu sebagai fiksi."

"Hm, karena itu kamu jadiin penulis sebagai profesi sampingan, kan? Kamu pernah cerita."

"Ya." Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan sofa halus yang menumpu bobot tubuhnya. Ia bergerak tak nyaman. "Eng... kepala saya bising banget kalau enggak nulis. Mungkin Kakak bakal super-risi saya datengin tujuh hari seminggu andai enggak diatasin sama itu, hahaha."

Psikolog itu tersenyum. "Kamu menikmati proses menulis?"

"Kadang enggak. Mana ada orang yang bisa full menikmati proses nelanjangin diri sendiri?"

"Tapi, kamu enggak pernah berhenti menulis."

"Belum, karena masih butuh. Kalau saya berhasil nemuin hobi asyik lainnya, saya bakal berhenti sepenuhnya. Capek soalnya, Kak," akunya jujur. "Apalagi cerita yang baru-baru ini saya garap. Saya cuma haha-hihi di sepuluh bab, nangisnya tiga puluh bab. Mama sampai ngira saya kerasukan. Wagelaseh, saya kudu nyari tempat yang sepi buat nulis dan siap begadang."

"Kamu enggak cerita tentang project tulisanmu ke mama kamu?" tanya psikolog. Beliau duduk di balik meja kerjanya. "Ah, lupa. Kamu pakai nama pena, ding. Pernah jelasin alasan ini. Dunia maya sama dunia nyatamu dibatasi sekat itu. Not something new. Jadi, baru-baru ini kamu berhasil tamatin satu cerita?"

"Yeps! Cerita yang ngirim saya ke tempat Kakak seminggu dua kali."

"Wow, kemarin-kemarin pas kamu beralasan minta obat antidepresan itu karena kucingmu mati, berarti alibi?"

Ia nyengir. "Saya mana punya kucing lagi setelah Pupi ditabrak motor." Memang agak mengada-ada, sih. Tapi dirinya kemarin belum siap bercerita, jadi terpaksa mengarang indah. "Cerita ini bikin saya burnout parah. Kakak tahu black hole saya, kan? 'Dia'. Nah, saya nulis tentang dia, makanya butuh itu biar enggak gila."

Heliosentris [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang