Part 28 | Meniskus Cekung

99K 9K 1.5K
                                    

HATI adalah organ yang bisa membunuh manusia tanpa senjata. Pepatah itu benar adanya. Bukan lagi simpatinya yang terbunuh. Semua rasa positif yang pernah ada untuk Varel lenyap berkat satu pengakuan.

Gladys menarik napas dalam-dalam. Dia bukan cewek bodoh. Dia juga bukan cewek naif. Segala yang dia inginkan, izinkan, batas toleransinya, siapa yang berhak masuk ke teritorinya... Gladys paham betul.

Jadi, bakalan sangat lucu jika dia ngedrama padahal sudah tahu motif Varel mendekatinya adalah Fareina. Sejak awal, dia mengerti, kok. Sekali lagi, Gladys tidak pekok. Hanya saja yang tidak bisa Gladys toleransi di sini adalah label yang Varel sematkan: kecoak.

"Jasa gunting lambe orang ada enggak, sih?" Gladys menyeletuk usai lama terdiam. "Yang dajal siapa, yang ngerasa dijahatin siapa. Yang jual kisah sedihnya demi dapet simpati cewek siapa, yang nyakitin juga siapa. Heran gue! Kak Varel, bisa enggak job desc setan jangan diembat semua? Kasihan setannya jadi insecure sama lo, Goblok!"

Suasana GOR luar biasa lengang. Suara napas tertahan menjadi latar belakang yang tidak begitu Gladys indahkan. Ia berjalan cepat menuju Varel untuk melempar buku ke mukanya.

"Gue ke sini cuma mau ngasih titipan Pak Anan. Thanks, lo malah bales pake kejutan. Berkat Kak Varel, gue jadi enggak perlu ke kebun binatang buat lihat babi!"

Cowok di depannya mengusap pipi, tetapi Gladys memasabodohkan. Matanya nyalang menatap anak-anak basket, Pak Priyo, Fareina, bahkan sosok lelaki yang tidak ia kenali.

"Emang kenapa kalau gue miskin? Emang kenapa kalau gue cewek biasa? Gue makan dari tangan lo-kah? Gue bikin jatah nasi lo berkurang tiap harikah? Apa peran lo di hidup gue? Cuma bacot doang, enggak guna lo, Sampah!"

An eye for an eye. Hina balas hina. Jangan harap Gladys bakalan terima jadi pihak yang teraniaya di sini. Sekali mereka menyenggolnya berarti siap ia senggol balik.

Rahangnya mengeras. "Kak Varel, lo yang mohon-mohon supaya gue enggak ninggalin lo. Kak Evan, lo yang bilang gue cuma outsider. Artinya, lo juga bukan siapa-siapa di hidup gue. Fathan, lo yang nyuruh gue supaya enggak nyusahin lo lagi. Dan lo, Fareina...," bibir Gladys menipis, "lo yang selalu nyamperin gue pertama kali. Entah buat ngepoin Kak Varel, sekadar ngatain mama gue pelacur murahan, ngadu domba gue sama ayah sendiri, atau nyontek tugas fisika gue. Kalian semua yang bangsat! Gue selalu diem di tempat dan menjauh pas disuruh. Kalian yang selalu nyamperin gue! Terus kenapa ini jadi dosa gue sewaktu kalian ngerasa susah karena itu?" teriaknya.

Mau orang-orang di sekelilingnya ini apa? Apa, hah? Diam saja, salah. Merespons juga salah. Haruskah Gladys mengutuk diri sendiri jadi dugong biar dianggap benar?

"Khususnya lo, Kak Varel." Gladys menatapnya tajam. "Tun-duk? Siapa yang tunduk sama lo? Jangan lo pikir karena udah baik ke gue, nenangin gue waktu kucing gue meninggal, atau ngajakin gue ke pantai, lo ngerasa jadi malaikat. Kasta lo enggak setinggi itu. Di mata gue, lo cuma Varelino Dhafian, manusia songong yang selalu nyebut gue enggak punya hati. Kita impas sekarang. Baik lo atau gue ternyata sama-sama enggak punya hati. Jadi, buat apa lo susah payah komentar jelek tentang gue? Lo enggak akan bisa hancurin hati yang udah hancur."

Dengan itu, Gladys berbalik pergi. Tidak dipedulikannya cegatan Fathan yang mengejar di belakang. Ia langsung naik angkot pertama yang melintas di depan GOR.

"Hhh... semua orang akan jadi si bangsat dalam kisah orang lain." Gladys menempelkan keningnya ke kaca angkutan umum. Panas. Lelah.

Entah kenapa setiap habis marah-marah, sesal sedikit menyusupi kalbunya. Kali ini, dia bertindak benar, 'kan? Bentak orang tidak tahu diri itu bukan termasuk kejahatan, 'kan?

Heliosentris [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang