Bagi sebagian orang, mungkin proses interview melamar pekerjaan merupakan sesuatu yang menyenangkan.
Tapi tidak bagiku, aku yang kadar paniknya suka melebihi rata-rata, menganggap interview adalah sebuah momok yang menakutkan.
Bagaimana kita berinte...
"Jijique gue dengernya. Akhirnya jones menemukan cintanya juga. Hihihi."
"Biarin. Wlee!"
Ting! Bunyi pesan masuk. Ternyata Darren mengirim foto bersama teman-temannya dengan latar belakang TV, sepertinya mereka sedang main PS.
Setelah berpikir sejenak, Lala mengubah rencana pulang menjadi berkeliling alias window shopping. Katanya siapa tau saja ada yang lucu yang bisa dibelinya. Kebetulan juga hari belum terlalu malam.
Hampir satu jam kami berkeliling. Baik aku dan Lala, sudah menenteng belanjaan dari toko pakaian anak muda yang ternama, meskipun cuma beli satu item saja. Lumayan lah buat dipake kerja.
"Eh, itu kayak si Raffa, deh!" seru Lala menunjuk seseorang di arah jam sebelas sedang berjalan sambil melihat ponsel. Lala lalu berteriak memanggil lelaki itu.
Astatang! Dari seluruh tempat di bumi ini, kenapa kita harus ketemu dia disini sih! Manusia kampret! Kenapa lo harus ada di sekitar gue!
Raffa menoleh dan berhenti.
"Lagi ngapain lo? Sendirian aja? Apa kabar?" tanya Lala ketika sudah berada di dekatnya.
"Baik. Abis ganti baterai jam nih." jawabnya, bahkan ia sama sekali tak melihat ke arahku ataupun menegurku.
Sompreetttt!!! Gua pites juga lu!
"Oh, trus sekarang mau kemana lagi? Lo naek apa?"
Feeling gue nggak enak!
"Mau pulang sih, bawa mobil soalnya motor lagi di bengkel."
Heloooowwww, di sini ada orang ya! Sial, gue kok jadi kayak kambing congek ya!
Sebelum Lala berkata lebih aneh lagi, aku menariknya dan mengajaknya untuk pulang. "Ayo, La. Gue pesen taxol ya!"
Namun, cewek cabe-cabean itu tak menggubrisku, ia malah berkata dengan santainya pada Raffa, "Raf, boleh nebeng nggak? Hehe. Please!" ucapnya dengan memelas.
Apa-apaan sih! Aku melotot pada Lala.
Raffa terlihat menimbang-nimbang. Please, mudah-mudahan dia bilang nggak bisa dong!
"Boleh."
Ya Allah!
"Ih, beneran? Ya ampun baik banget sih lo. Eh, tapi ngerepotin nggak nih?"
"Nggak, kok. Nyantai aja."
Aku berbisik lirih pada Lala, "Gue naik ojol aja ya."
"Biarin aja, La, kalo emang dia mau naik ojek sendiri." ucap Raffa ketus menyambar pembicaraan kami.
"Yee, jangan lah. Ntar ada apa-apa di jalan."
Setelah melalui perdebatan yang cukup sengit selama sepuluh menit, akhirnya Lala berhasil memaksaku untuk ikut dengannya.
Ketika langkah kaki kami mencapai mobil Raffa, aku langsung mengambil posisi bersiap membuka pintu di belakang. Ogah amat gue duduk di sebelahnya!
"Xi, lo dong yang di depan, kan gue turun duluan."
"Nggak! Lo aja yang di depan!" jawabku langsung duduk di bangku belakang.
Sepanjang perjalanan, Lala dan Raffa asik ngobrol sementara aku hanya sibuk bermain ponsel, chatting dengan Darren. Tentu saja aku tidak bilang pulang diantar Si Kampret, bisa ngamuk dia!
Ketika mobil sampai di tujuan pertama dan Lala telah turun, Raffa menyuruhku pindah ke depan.
"Nggak mau!"
"Pindah, nggak! Emang lo kira gue supir apa?!"
"Ih, parah lo, Xi. Udah bagus Raffa mau nganterin." Lala yang masih berdiri di depan pintu mobil mengingatkanku.
Dengan berat hati, aku pun pindah ke bangku depan. Setengah perjalanan pertama hening seperti kuburan yang kurasakan, hanya terdengar suara musik mengalun pelan.
"Lo kayaknya makin deket ya sama Darren semenjak menang best costumedi Bali." suara Raffa memecah kecanggunggan yang terjadi.
"Perasaan lo aja, gue sama dia murni sebatas profesional." bantahku. Pasti doi mau ngulik-ngulik nih! Kalo sampe dia tau gue pacaran sama Darren bisa dilaporin kita berdua. Salah satunya pasti bakalan disuruh resign. Wah, bahaya nih!
"Bukannya dia suka sama lo ya? Gue yakin pasti hubungan kalian berlanjut setelah acara itu kan?"
"Ngarang aja lo! Ya nggak mungkin lah, gue tau aturan kantor kali yang melarang karyawannya punya hubungan spesial."
"Oh." jawabnya singkat sembari menghela napas.
"Kepo banget sih lo! Kenapa emangnya?"
"Sebenernya bagus juga sih kalo ada hubungan spesial, salah satu dari kalian jadinya kan harus keluar."
Bangcaattt!!!
"Oohh, emang pengennya lo kan biar gue resign? Jahat lo ya!" aku melotot kesal pada Raffa.
"Turunin gue sekarang juga!" perintahku, kesabaranku sudah hampir habis.
Ingin rasanya kutampol wajahnya, tapi aku masih punya akal, kalau aku pukul dia hingga hilang fokus, mobil yang kami tumpangi akan oleng dan kemungkinan akan terjadi kecelakaan. Aku belum ingin mati muda. Belom ngerasain enaknya kawin, eh, nikah!
"Turunin, Raffa!" teriakku, namun si Kampret itu tetap pada posisi tenang dan tak menggubris perintahku.
"Turunin!" teriakku lebih keras. Mataku tak lepas menatap tajam padanya.
Tak lama kemudian, mobil berhenti secara perlahan dan Raffa mematikan mesinnya.
"Udah sampe." katanya singkat.
Loh? Eh?
Udah sampe? Udah sampe rumah?
"Makasih!" seruku singkat lantas membuka pintu mobil dengan cepat.
Ketika aku melewati mobil dan membuka pagar, Raffa membuka kaca mobilnya dan berkata, "Makasihnya nggak usah pake sewot juga kali."
"Wealaahhh, ada Nak Raffa!" pekik Mama yang entah kenapa bisa ada di teras lalu berjalan menuju pagar.
Ya ilah!
TBC
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
mon maap ni, itu bioskop bukan mesjid jadi ga mesti lepas sandal/sepatu, apalagi kalo bau ikan asin... 🤭