"Cassy masih murung, tuh." Erva menunjuk Cassy dengan gerakan kepala.
Menyadari itu Edward segera menghampiri Cassy yang duduk menopang dagu.
"Sudahlah, Cassy. Jangan terlalu dipikirkan. Dia sudah termakan kata-katanya sendiri, bukan?" hibur Edward.
Erva duduk di sebelah Cassy. "Betul! Tadi dia sampai lari begitu. Pasti dia malu sekali."
Cassy bangkit. "Dia malu, tapi itu tidak mengurangi rasa maluku! Ini semua karena mama!"
Rean yang sudah selesai membersihkan luka Chelia berbalik. "Kenapa kamu malah menyalahkan ibumu?" tegurnya tidak suka.
"Lalu salah siapa lagi?!"
Rama mendekat. "Jangan seperti itu, Dear. Kamu mau jadi anak durhaka? Nanti kamu dikutuk jadi batu, lho. Masih mending kalau jadi batu permata. Kalau jadi batu gunung bagaimana? Bisa jadi pondasi rumah kamu."
Cassy menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kenangan masa kecilnya yang penuh makian karena rupa sang mama kembali terlintas di ingatannya.
"Dulu aku malu kalau mama datang ke sekolah saat acara kelulusan. Teman-teman pasti akan mengejekku. Sekarang sudah jadi cantik pun, ternyata mama masih mendatangkan masalah! Aku benci mama!" Cassy mulai terisak.
"Cassy, kamu tidak boleh bilang begitu! Kalau tante sampai tahu, tante pasti sedih sekali." Chelia maju menggenggam tangan Cassy.
"Kamu membenci ibumu hanya karena omongan sampah itu? Ayolah, Cassy! Kalau kamu berkata seperti itu juga, apa bedanya kamu dengan mereka?" Rama menambahkan.
Cassy berdiri, menarik tangannya dalam genggaman Chelia dan menatap nanar pada teman-temannya yang tidak memberi dukungan. "Kalian tidak tahu rasanya, sih! Kalian bisa bilang begitu karena kalian tidak punya ibu!"
Chelia dan Rama sama-sama tergemap mendengarnya. Hingga untuk beberapa saat, tidak ada yang berani suara.
Cassy terduduk kembali saat menyadari kesalahan besar dalam kata-katanya barusan. Pandangannya jatuh pada mata Chelia berkaca, juga pada Rama yang tersenyum miris.
"A-aku permisi ke toilet sebentar!" Chelia beranjak. Meski telah memaksakan senyum, suaranya tetap bergetar.
Rama tertawa rikuh. Tangannya merogoh dompet di saku celananya, mengeluarkan sebuah foto dan menyodorkannya pada Cassy.
"Ini ibuku. Cantik sekali, bukan? Tentu aku akan bangga bila ibuku datang di hari kelulusan sekolah. Teman-teman akan melihat dan memuji kecantikan ibuku. Tapi asal kamu tahu Dear, itu tidak pernah terjadi."
Rama menatap Cassy dengan sendu. "Hadiah terindah yang diberikan Tuhan kepada hambanya adalah kehidupan, dan satu orang yang berani melalui kematian untuk mewujudkan itu adalah ibu. Ibu memberi kita kesempatan untuk hidup, bahkan dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri."
Naya menunduk dalam-dalam mendengarnya. Di sebelahnya Erva menutup mulutnya dengan kedua tangan, bahunya naik-turun menahan tangis. Edward dan Rean pun bungkam.
"Andai Tuhan mengizinkan, aku benar-benar ingin ibuku hidup lagi. Bagaimanapun keadaannya, pasti akan kuterima." Rama menepuk punggung Cassy. "Sayangi ibumu, Dear. Percaya padaku, tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan keberadaannya di dunia ini."
Rama kemudian menyampirkan ransel di punggungnya, membereskan barang-barang Chelia dan menentengnya di pundak yang satu. "Kami pulang duluan."
Cassy mematap punggung Rama yang menghilang di balik pintu. Ia menangis sejadi-jadinya. Sungguh, Cassy menyesal telah melukai hati kedua sahabatnya yang sangat peduli itu.
ČTEŠ
Prescriptio☕
Mystery / ThrillerMenjadi mahasiswa farmasi yang super sibuk seolah cobaan yang belum cukup bagi Rama dan kawan-kawannya. Berbagai kejadian misterius terjadi pada orang-orang yang memiliki masalah dengan salah seorang di antara mereka. Ketika persahabatan diuji oleh...
19. Infinitio ☕
Začít od začátku
