05. Missing Link ☕

Start from the beginning
                                        

"Aneh."

"Ya, tapi kenyataannya seperti itu. Apalagi menurut kesaksian teman-temannya, akhir-akhir ini dia memang terlihat tertekan. History browser di laptopnya seminggu belakangan terkait obat hipnotik semua, bahkan riwayat penelusuran terakhir di ponselnya beberapa saat sebelum jenazahnya ditemukan adalah cara mengakhiri hidup."

Rama makin merapatkan duduknya pada Rean. "Kamu tahu catatan terakhir yang ditulis di logbook untuk rencana penelitiannya?"

"Apa?"

"Sebentar." Rama mengambil ponselnya kemudian mengetikkan sesuatu di sana.

"Kenapa harus ribet begitu, sih! Sebut saja!"

"Tidak bisa!"

Rean menatap Rama prihatin. "Kamu kebanyakan menonton film horor."

Rama bergidik. "Maksudmu Jodoh Wasiat Bapak? Itu film terhoror yang berani aku lihat."

"Memang itu film horor?"

"Bukan, film religi!" Rama merengus lalu menyerahkan HP-nya pada Rean. "Nih, baca sendiri. Jangan keras-keras!"

Cara terbaik untuk mengakhiri hidup adalah dengan terlelap selamanya.

Rean tercekat, ada sedikit sengatan listrik yang membuat degup jantungnya terpacu begitu membaca pesan terakhir itu. "Ini benar dia yang tulis?"

Rama menarik kembali ponselnya. "Benar! Coba cek foto catatan aslinya di grup."

"Ada fotonya juga, kenapa kamu pakai ketik segala!"

"Habis di situ ada fotonya profilnya juga! Kalau aku buka nanti malah tersimpan di galeri!"

Rean menghela napas. "Kenapa juga kamu takut begitu?!"

"Kemarin aku ketemu dia di kantin!"

"Lalu?"

"Dia itu ... menatap aku terus. Serius!"

"Narsisis!" Rean merutuk kemudian mengambil posisi berbaring. "Aku mau tidur, bangunkan aku jam sebelas."

"Kamu mau kemana lagi?!"

"Jemput Edward."

"Motornya ditahan senior?"

"Tidak, kalaupun ditahan nanti aku yang minta. Aku cuma khawatir saja, sekarang banyak begal."

Rama terlonjak. "Kamu pasti habis berantem sama begal, kan?" tebaknya sambil menguncang pundak Rean.

Rean melentikkan bahunya, menepis tangan Rama. "Nggak! Sudah jangan ganggu, aku mau istirahat sebentar."

Rama tidak mau mengalah, ia bergegas ke ruang tengah kemudian kembali dengan menenteng kotak kesehatan dan memaksa Rean bangun.

Rean akhirnya menyerah dan bangkit. "Oke! Aku memang habis melawan begal, tapi aku nggak luka sama sekali. Aku hanya butuh istirahat."

Rama tidak mengindahkan alasan Rean dan mengelurkan beberapa patch transdermal, krim, gel, dan spray penghilang nyeri otot. "Kamu memang nggak luka, tapi badanmu pasti pegal, kan? Apalagi kamu habis melatih."

"Nggak."

"Lama-lama aku beli lie-detector juga kalau begini! Sudah jangan banyak alasan. Nih, aku sudah cek komposisinya di Excipient. Ini merek yang paling berkualitas. Aku nggak tahu kamu suka jenis apa jadi aku beli semua, tapi Chelia bilang jangan dikombinasi, pakai salah-satunya saja, nanti kulitmu iritasi kayak pantat bayi yang kelamaan pakai popok."

Rean menatap Rama yang sudah seperti sales tim marketing kemudian mengambil kaleng aerosol spray dan menyemprotkan koloid cair-gas itu pada betis serta lengannya setelah dibersihkan dengan tisu.

Prescriptio☕  Where stories live. Discover now