(1) Jadi Auditor itu Nggak Enak

22.3K 1.2K 41
                                    

“Han, kapan kamu akan bantu Papa?” tanya lelaki paruh baya yang duduk di seberangku.

Aku menghembuskan napas kesal. Lagi-lagi pertanyaan yang sama di awal hari. Sejak menyelesaikan pendidikan tiga tahun lalu, papa menanyakan hal itu setiap pagi. Kau bisa menghitungnya sendiri, kan?

“Pa, Hana kan sudah bantu Papa selama ini. Per tiga bulan, Hana periksa semua laporan keuangan perusahaan. Bukan cuma yang di Jakarta, yang di Bandung, Jogja, Semarang, Surabaya, bahkan yang di Denpasar juga. Hana pun sudah arahkan karyawan Papa bagaimana membuat laporan yang baik dan benar. Kurang apa lagi?”

Aku mengambil roti, lalu melumurinya dengan selai cokelat. Saat itu mama datang dengan nampan yang berisi empat gelas yang masih mengepulkan asap. Dua cangkir kopi, dan dua cangkir teh melati, sedang diletakkan di atas meja makan.

“Iya. Maksud Papa, kapan kamu mau bantu Papa sepenuhnya di kantor? Sampai kapan kamu mau jadi auditor di kantor orang? Lagipula, jadi auditor itu beresiko. Lihat tuh, KPK! Diteror orang nggak dikenal. Mendingan kamu kerja di perusahaan Papa. Toh nanti akan jadi punya kamu dan Farish,” timpal papa.

Papaku, Barata Widjaya, memiliki sebuah perusahaan rental mobil yang sedang berkembang. Cabangnya sudah ada di beberapa kota besar di Indonesia. Papa merintis usaha ini sejak Farish masih kecil. Papa bercita-cita mewarisi anak-anak sebuah perusahaan yang bisa menyerap banyak pekerja. Kata papa, mencari pekerjaan bagus itu makin susah nantinya. Saat orang lain berpikiran untuk mencari kerja, papa justru menciptakan lapangan kerja.

“Han, lagian apa enaknya sih jadi auditor?” ucapan mama membuyarkan lamunanku, “jadi auditor itu kan nggak enak. Suka dijauhi dan dimusuhi. Apalagi kalau sampai dia mengatakan temuannya itu,” sambung mama.

“Mending kamu ikut Papa sama Kakak, Han. Bisa ketemu banyak orang baru. Jadi auditor itu bikin kuper. Ketemunya sama data dan masalah aja. Kapan punya pacarnya?” sela Farish yang baru bergabung di meja makan.

Oh my! Kenapa semesta hari ini mengucilkan profesiku? Mereka ngerti nggak sih, sama yang namanya panggilan hati? Waktu masih sekolah, aku bilang mau jadi penulis, nggak didukung. Katanya, jadi penulis itu masa depannya nggak jelas. Mereka aja yang nggak tahu. Tuh, JK Rowling, berapa pendapatannya? Yang berguguran itu yang nggak tahan prosesnya. Walau dulu ditentang, tapi diam-diam aku masih nulis lho. Jadi penulis novel itu salah satu cita-citaku. Jadi auditor itu keren. Mirip detektif, tapi yang diselidiki masalah pertanggungjawaban atas asset yang dikelolanya.

“Rish, kamu bisa nasihatin Hana, tapi kamu sendiri gimana?” ujar papa.

“Aku kan sudah bantuin Papa dari dulu. COO-nya di kantor siapa?” sahut Farish sambil mengambil cangkir kopinya.

“Pura-pura deh kamu. Setiap disinggung masalah itu, pasti mengalihkan pembicaraan,” tukas mama.

Farish hanya mengangkat bahu dan menempelkan cangkir di bibirnya.

“Kapan kamu mau ngenalin Papa dan Mama calon istrimu?” tembak papa.

Farish tersedak minumannya sendiri. Untung saja cairan itu tidak muncrat ke mana-mana, hanya membasahi mulut. Dia langsung menyeka dagunya dengan tisu yang disodorkan mama, sebelum sisa kopinya menetes membasahi celananya yang berwarna terang.

Farish berbeda lima tahun denganku. Sungguh keluarga yang terencana, kan? Selama ini dia nggak pernah membawa satu pun teman perempuannya ke rumah. Tahan pikiranmu. Farish itu normal, dia masih suka makhluk yang jenisnya perempuan. Dia juga bukan pemalu atau takut wanita, justru dia adalah penakluk mereka. Playboy sejati. Nanti aku bocorkan beberapa tips dan trik ala Farish.

***

================================

Segini dulu yaaa perkenalannya dengan keluarga Widjaya. Jangan lupa vomentnya kalau kamu suka ceritanya Hana. Jumpa lagi di next part.

Happy reading n enjoy!
-San Hanna-

LOVAUDITWhere stories live. Discover now