17. De Memoria☕

Start from the beginning
                                        

"Bukan Dementor seperti yang kalian pikirkan." Rean menyodorkan ponselnya kepada Rama dan Edward. Setelah kesemua temannya pulang kemarin, Rean menemui juru kunci fakultas dan kembali ke koridor tersebut seorang diri lalu mengambil beberapa foto.

Rama dan Edward mengamati potret koridor beserta foto beberapa serangga yang mati di beberapa sudutnya yang diambil Rean.

"Intinya di koridor depan gudang itu memang tidak ada kehidupan sama sekali. Bukan hanya tanaman-tanaman di sana yang layu, bahkan serangga-serangga pun ikut mati. Aku yakin ada 'Dementor' yang menjadi penyebab dari semua ini. Entah bagaimana wujudnya," lanjut Rean.

Edward mendengus. "Aku rasa kita terlalu serius untuk masalah ini. Maksudku, ini hanya masalah tanaman hias yang layu itu, kan? Dan tentang serangga itu, bukankah mereka memang memiliki garis tangan untuk berumur pendek?"

"Serangga itu tidak punya tangan, Brother. Mereka itu hexapoda dengan 6 kaki." Rama menyengir pada Edward yang meliriknya kesal. "Tapi Rean ada benarnya juga. Coba lihat! Serangga-serangga ini mati bersamaan. Kamu tidak berpikir mereka semua janjian untuk sehidup semati dulu, kan?"

Kali ini Edward yang bungkam.

"Tapi kenapa ya serangga kalau mati posisinya selalu terbalik menjadi telentang begini? Kecuali yang mati terinjak, sih." Rama bergumam sendiri sambil melihat foto-foto yang diambil Rean dengan ponselnya.

Rean yang kembali menguyah makanannya tersedak tiba-tiba.

"Brother! Kamu nggak apa-apa?" Rama menyodorkan segelas air dan memijat tengkuk Rean.

Rean melenggut, berusaha mengakhiri sumbatan di jalan napasnya itu. Sesuatu yang dikatakan Rama barusan membuatnya sadar akan wujud "Dementor" yang sesungguhnya.

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Riva menekan beberapa tombol di central lock, menutup sekaligus pengunci beberapa tingkap jendela, kemudian menyalakan pendingin ruangan dan menghidupan humifier ruang tengah. Hari mulai gelap, angin malam tidak bagus untuk kesehatan, udara kering dari AC juga bisa membuat beberapa masalah kulit dan pernapasan--terutama untuk Chelia.

Riva mengeluarkan beberapa lembar voucher skin care dari sakunya kemudian menghampiri Chelia yang sedang membaca sambil bersandar di sofa. Riva sempat mendengar kegaduhan dari para staf wanita yang memperebutkan voucher perawatan dari salah satu klinik kecantikan ternama--mitra perusahaanya.

Riva menyadari akhir-akhir ini terlalu sibuk dan tidak memperhatikan Chelia sehingga berinisiatif memberinya kejutan kecil. Riva berpikir Chelia akan berteriak histeris seperti staf-staf wanita di kantornya saat mendapat undian, namun adiknya itu malah menatap voucher di tangannya dengan alis saling bertaut.

"Voucher perawatan?" Chelia membulatkan matanya. "Kak Riva, apa aku kelihatan ... jelek?"

Riva terkekeh, ia menangkupkan kedua tangannya di wajah Chelia kemudian mengamatinya lekat-lekat . "Bukan begitu, adik kakak tersayang. Di lihat dari sisi manapun kamu tetap cantik."

"Lalu ini untuk apa?"

Seulas senyum merekah di bibir Riva. Sejujurnya biaya perawatan kulit dan wajah itu tidak seberapa baginya. Voucher tersebut hanya untuk menarik hati Chelia agar tergerak untuk keluar refreshing bersama teman-temannya. Mumpung sedang libur.

Selepas menjalani isolasi dahulu, psikiater yang menangani Chelia memang berpesan untuk mencarikan Chelia kegiatan baru dan membuatnya sibuk hingga pikirannya tidak terpengaruh hal-hal buruk dan bisa terbebas sepenuhnya dari emosi-emosi negatif di masa lalu. Untuk itu Riva mendaftarkan Chelia di jurusan farmasi, namun melihat adiknya itu terus-terusan belajar membuat Riva tidak tega juga.

Prescriptio☕  Where stories live. Discover now