Arya mengelus nisan di sana dengan lembut, membayangkan saat-saat di mana ia membelai rambut seorang gadis manis yang kala itu sering curhat padanya dan menggalau karena banyak tugas. Perasaannya mengharu seketika. Seandainya kamu masih hidup, akan jadi seperti apa kamu sekarang, Del?
Riva menaburkan bunga di atas makam itu dengan sendu. Cairan bening melapisi permukaan kornea matanya, membuatnya tampak berkaca. "Selamat pagi, Del. Minggu ini perusahaanku akan merilis program analisis versi baru, kupikir kamu akan suka itu. Maaf baru bisa menyelesaikannya sekarang. Janjiku sudah lunas, kan?" tuturnya dengan suara bergetar.
Vian memilih diam, menundukkan kepalanya dalam-dalam sedang bahunya terus berguncang sedari tadi. Pikirannya jauh berputar ke masa lalu.
Vian, kamu tau apa impian terbesarku?
Jadi apoteker hebat?
Bukan!
Scientist?
Bukan!
Lalu?
Aku mau suatu saat nanti kita buka klinik sama-sama. Kamu yang memberi resep, aku yang menyiapkan obatnya. Kita bisa sama-sama membuat terapi yang rasional untuk pasien. Keren, kan?
Biasa saja.
Oke, biasa saja juga tidak masalah.
Memang aku mau kerja bareng kamu?
Jadi kamu tidak mau?
Entahlah, lihat nanti deh.
Vian memeluk nisan di depannya. Sejujurnya ia memimpikan hal yang sama. Dalam hati iya menyesal tidak berkata jujur dan melakukan ikrar di waktu itu. Padahal, bisa jadi Tuhan mendengar iktikad mulia tersebut dan memberi waktu untuk mewujudkan mimpi sederhana mereka.
Baik Riva, Arya, maupun Vian kini larut dalam lamunannya masing-masing. Hari itu bertepatan dengan hari ulang tahun Nadella Adannaya, sahabat perempuan mereka sejak SMA sampai menjelang lulus kuliah, sebelum peristiwa nahas yang merenggut nyawanya terjadi.
Sejak kepergiannya, Arya, Riva, dan Vian selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke makam itu setiap hari ulang tahun Nadella, meski tidak lagi bisa memberikan hadiah atau keluar makan bersama.
Arya merengkuh Riva dan Vian. Mereka berdua lebih dekat dengan Nadella dibanding dirinya, khususnya Vian. Arya menyelesaikan studi strata satunya setahun lebih cepat kemudian melanjutkan jenjang magister di luar negeri.
Sampai sekarang pun Arya terkadang masih menyesali keputusannya. Bila saja Arya tahu hidup Nadella tidak lagi panjang, akan ia relakan beasiswa fellowship yang diterimanya tahun itu dan menemani Nadella menghabiskan sisa waktunya. Mendengarkan segala curhatannya, mengunjungi tempat-tempat favoritnya, mentraktirnya makan dan belanja, bahkan bila mungkin, mencegah kecelakaan itu terjadi.
Sebab sekarang, bagaimana pun caranya, seberapa keras pun ia berusaha, sudah tidak ada jalan untuk membuat Nadella bangun dari tidur panjangnya. Menarik kembali jiwanya, mengembalikan detak jantungnya, dan membuat sahabatnya itu membuka mata barang sebentar saja, paling tidak untuk mengucapkan salam perpisahan dan ungkapan terima kasih.
Nadella adalah orang yang sangat Arya rindukan, setelah ibunya. Pribadi ceria berjiwa sosial tinggi yang begitu positif menjalani hidup. Sosok yang dengan besar hati merawatnya kala sakit, membuatkan teh campuran lemon dan madu untuknya bila sedang tak enak badan atau terserang flu dan batuk. Terbukti ampuh, entah karena ketulusan Nadella yang bersedia meracik minuman herbal itu di tengah rutinitasnya yang padat, atau memang karena efek dari senyawa bioaktif ketiga bahan alam tersebut.
"Del ... aku rindu teh herbal buatanmu." Arya berbisik lirih.
Riva hanya tersenyum getir mendengarnya. Terlintas bayang-bayang Nadella di benaknya saat sahabatnya itu mengingatkannya untuk minum obat dengan benar dan teratur, menerornya pagi-siang-malam tiap delapan jam sekali untuk memastikan Riva meminum obat antibiotiknya sampai tuntas agar tidak mengalami resistensi--permasalahan pelik di dunia kesehatan yang merisaukan Nadella. Riva sampai penasaran apa menteri kesehatan juga sampai sefrustasi itu
"Sudah cukup sedih-sedihnya," Riva menyeka setitik air mata di pelupuknya, berusaha tampak tegar, "mari kita kirimkan doa untuk Della," lanjutnya sambil memandang langit pagi yang ikut muram, hanya sedikit garis lurus dari rambatan cahaya matahari yang berhasil menembus awan di atas sana. "Della selalu bilang, kan? Doa itu bisa menembus langit."
Arya dan Vian mengangguk pelan, pandangan mereka ikut mengangkasa. Pancaran cahaya matahari mulai terlihat jelas bersamaan dengan awan kelabu yang memudar. Mereka kemudian sibuk mengirimkan doa kepada sahabat mereka tercinta yang berbaring kurang lebih satu setengah meter di bawah nisan itu. Berharap ketenangan dan kelapangan urusan untuknya di alam sana.
Nadella Adannaya memang memiliki eksistensi yang kuat, bukan karena hawa keberadaannya yang masih terasa, namun kenangannya yang tak pernah hilang. Sosok sahabat yang membuat Arya, Riva, maupun Vian percaya, persahabatan mereka melewati batas ruang dan waktu.
☕☕☕
YOU ARE READING
Prescriptio☕
Mystery / ThrillerMenjadi mahasiswa farmasi yang super sibuk seolah cobaan yang belum cukup bagi Rama dan kawan-kawannya. Berbagai kejadian misterius terjadi pada orang-orang yang memiliki masalah dengan salah seorang di antara mereka. Ketika persahabatan diuji oleh...
01. Ab Initio☕
Start from the beginning
