59

321K 18.3K 690
                                    

Author POV

Ini tidak adil, pikir Lisa. Bagaimana mungkin, Saga bisa tidur nyenyak sambil memeluknya erat, sementara semalam mereka menghadapi masalah pelik-lebih tepatnya Lisa yang mengalami masalah tersebut.

Seharusnya, ya, seharusnya, suaminya itu sama seperti dirinya. Tidak bisa tidur, banyak pikiran, pertimbangan, hingga dia terbangun dengan wajah terlihat kuyu dan kantung mata yang membesar. Lain halnya dengan Saga yang terlihat segar hari ini.

Mereka sarapan dalam diam, pagi ini. Padahal biasanya akan terdengar tawa Lisa, atau suara Saga yang yang menbualkan gombalan receh-tapi sangat disukai Lisa

"Kenapa nggak dihabiskan sarapannya?" Tukas Saga saat melihat Lisa meletakkan garpu dan sendok yang terbalik, tanda jika dia telah selesai sarapan.

"Aku udah kenyang," jawabnya pelan. "Ga, mengenai semalam, kalau kamu mau marah, marah aja, aku terima. Tapi jangan bersikap normal, seakan nggak terjadi apa-apa. It's hard for me to pretending everything's fine," mata Lisa memanas, menampakkan lapisan bening di kedua matanya.

"Then, what I'm supposed to do, Lalisa? Mendiamkan kamu? Menjauhi kamu? Saya tidak bisa melakukannya,"

"Saya sudah pernah kehilangan karena ditinggalkan. Saya tidak ingin hal itu kembali terulang. Saya tidak mau hancur untuk kedua kalinya. It's hard for me too Lisa but-" Saga tak bisa melanjutkan kalimatnya lagi dan memilih tertunduk. "Saya berangkat," Pria itu berdiri dari kursinya, mendekati Lisa yang masih duduk di kursinya. Mengecup singkat puncak kepalanya dan pergi tanpa melanjutkan kalimatnya. Tak lama setelah pintu tertutup tanda Saga sudah pergi, tangis Lisa pecah.
***
"Lo ngerokok lagi?" Itu kalimat yang keluar dari mulut Marco saat mendapati Saga ada ruangan smoking di restoran depan rumah sakit. Marco memang sengaja datang untuk menghisap sebatang rokok sebelum jam istirahat selesai

"Cuma setengah batang," terang Saga dan mematikan rokoknya yang bersusah setengah dengan menyundut ujungnya ke asbak.

"Ada masalah besar?" Tebak Marco. Pria ini, hanya merokok jika ada masalah, seperti saat Marly meninggalkannya atau ketika Lisa meminta cerai. Karena pada dasarnya dia bukan perokok.

"No," jawab Saga singkat. "Hanya ingin,"

"Lo nggak bisa bohong sama gue," Marco menepuk pundak Saga seakan sangat mengetahui kebiasaan Saga. Dan memang, dia tahu. Saga tak pandai menyembunyikan perasaannya.

"Gue nggak apa-apa," Saga masih bersikeras tidak mengakui.

"Kita masih punya waktu istirahat sepuluh menit," Marco masa bodo dengan keengganan Saga untuk bercerita.

"Lisa akan naik jabatan," Saga akhirnya menyerah.

"So... What's the problem? Lo takut berada di bawah dominasi Lisa? Atau takut dia remehin Lo karena gajian dia lebih besar? Gue rasa Lisa bukan wanita yang sombong,

"Bukan itu yang gue takutkan. Dia bisa naik jabatan kalau pindah ke Jerman,"

"Jerman? Dia nolak dong?"

Saga menggeleng lemah "Dia belum memutuskan untuk menerima atau menolak tawaran tersebut,"

"What?! Dia masih berpikir? Dia perlu berpikir? Aneh, seharusnya dia langsung nolak, karena dia udah punya Lo,"

"Itu jugaga yg gue sesalkan sebenarnya, tapi gue nggak sanggup katakan ke Lisa. Gue nggak mau dia kecewa karena sikap egois gue,"

Are We Getting Married Yet?Where stories live. Discover now