50

257K 13.5K 435
                                    

Waww udah part 50 🎆🎊🎉
***
Lalisa POV

09:00 WIB

Baru kali rasanya, memasuki kantor seorang pengacara-yang namanya sama seperti merek teflon a.k.a Maxima Hutapea-seperti memasuki rumah hantu. Seram, tegang, takut, khawatir, campur aduk. Tidak karuan seperti air sisa cuci piring.

Meski begitu, aku selalu menguatkan hati, agar dapat melangkah pasti sampai di ruangan Max.

"Oh, Ibu Lisa sudah sampai," sapa sekretaris Max, Yuke. Calon istri Max. Bisa juga playboy cap kampret seperti dirinya seserius ini. Semoga tidak berakhir seperti diriku saat ini.

"Jangan terlalu formal," aku mengingatkan.

Yuke tersenyum ramah dan menjawab "Ini kantor Bu, saya harus bersikap profesional. Oh ya, langsung masuk saja. Pak Max sudah menunggu Ibu,"

Aku mengangguk dan langsung masuk ke dalam tanpa mengetuk tidak mengindahkan jawaban Yuke lagi. Di dalam, aku mendapati Max sedang duduk di kursi kebesarannya, sibuk membaca tumpukan kertas.

"Hello, dude!" Max segera berdiri dan menghampiriku, memelukku singkat dan mulai ber-high five ria padaku. Hampir 10 tahun terlewat sejak jaman SMA, dan dia masih menganggapku teman laki-lakinya. Max menggiringku duduk di sofa yang sepertinya memang difungsikan untuk menerima tamu.

"So... Mau minum dulu atau langsung cerita? Jujur, gue shock dengar Lo mau cerai. Lebih shock daripada tiba-tiba terima undangan pernikahan elo,"

"Minum dulu. Wine ada?" Tanyaku setengah bercanda, setengah serius. Max menyipitkan matanya, lalu beranjak ke mejanya dan berbicara pada tunangannya di luar sana melalui interkom.

"Sayang? Tolong bawa susu coklat kemasan 1 liter yang dingin dan gelas 2 ya," WTF. Minta wine dikasih susu coklat?

"Baik Pak," terdengar nada datar Yuke.

"Terima kasih sayang. I love you. Cium dong?"

"Ada Lisa! Jangan malu-maluin deh,"

"Hmmmm, kamu ya? Kalo ada orang lain malu-malu semut. Kalo berdua aja, ganas kayak beruang,"

Terdengar interkom diputuskan secara sepihak. Aku terkikik pelan mendengar kekonyolan Max.

"Oke," ucapnya ketika kembali duduk di sofa singlenya, kembali memasang tampang serius. "Sebelum gue urus perceraian Lo, gue pengen Lo tahu konsekuensi setelah bercerai,"

"Apa? Konsekuensinya cuma jadi janda, kan?" Jawabku enteng. Max menggeleng tidak percaya aku mengatakan dengan mudahnya.

"Nggak segampang itu jadi janda di negeri ini. Lo tahulah, nyinyiran-nyinyiran orang sekitar Lo. Apalagi, GM kayak Lo, nyinyiran bisa skala internasional,"

Aku berdecih "Lebay,".

"Serius. Udah banyak kasus perceraian yang gue tangani, yang bercerai karena merasa nggak cocok, atau ada orang ketiga banyak yang menyesal setelahnya. Mereka sadar, udah salah pilih langkah dengan bercerai, padahal masih bisa dibicarakan dengan baik-baik. Emosi udah membuat hati mereka tertutup, dan membenci pasangannya,"

"Gue datang jauh-jauh ke sini bukan untuk dinasehati," ucapku dengan wajah kesal.

"Gue pengen yang terbaik untuk Lo, gue pengen Lo berpikir ulang sebelum mengambil keputusan untuk bercerai. Jika ada jalan untuk tetap bersama, kenapa tidak dicoba? Cerai tidak selalu menyelesaikan masalah. Pikirkan kembali, apa tujuan awal Lo menikah dulu,"

Aku memejamkan mata sebentar mencerna kalimat Max. Tujuan menikah? Hanya sekedar status. Tentu bercerai tidak jadi masalah karena itu masuk dalam kesepakatan aku dan Saga. Mulutku hendak terbuka menjelaskan alasan aku menikah. Namun, sebuah ketukan di pintu menghentikan niatku. Yuke masuk sambil membawakan apa yang diminta Max padanya melalui interkom.

Are We Getting Married Yet?Kde žijí příběhy. Začni objevovat