23

245K 14.5K 260
                                    

Lisa POV

Aku terbangun otomatis saat tidurku sudah terasa cukup. Kemarin, aku tiba di hotel Plaza Athenee ini jam 6 sore dan langsung tidur tanpa mandi atau pun makan. Meski hanya tidur dan duduk seharian di pesawat tetap saja melelahkan. Apa karena aku bertambah tua jadi cepat capek, ya? Atau karena banyak pikiran? Apalagi memikirkan seseorang, yang mungkin saat ini tidak memikirkan ku barang sedetik. Buktinya hingga sekarang tak ada kabar sedikit pun dari si dia. Tidak perlu disebutkan namanya. Aku jadi kesal hanya dengan mengingatnya, apalagi harus menyebut namanya. Lebih aku mandi dan sarapan. 3 jam lagi aku harus bertemu Mr. Damien di Maison Pic.

Begitu selesai bersiap, aku segera turun ke bawah di mana jempuran Mr. Damien sudah menunggu. Aku merapatkan mantelku karena suhu yang semakin dingin ditambah salju yang turun, membuat semua jalanan dan gedung menjadi putih. Menurut ramalan cuaca yang sempat aku tonton sebentar, kemungkinan akan turun hujan. Aku benci dingin dan aku tidak suka Paris. Dan berada di Paris saat musim dingin? Sama dengan membunuhku secara perlahan.

"Hatchim!" Plis, jangan biarkan aku pilek, Tuhan! "Monsieur, Pouvez-vous élevé le chauffage (Pak, bisa naikkan pemanasnya)?" Ujarku saat merasa belum hangat. Sang supir hanya mengangguk dan memutar kenop pemanas ke kanan. Dia supir yang sama saat menjemput di bandara. Namanya Mr. Jimmy. Aku jadi ingat dia kebingungan karena aku menariknya ke sembarang arah, agar menjauhi si pria psikopat. Untunglah dia kehilangan jejakku.

Tak lama mobil telah sampai di depan restoran Maison Pic. Aku segera masuk dan menuju ruang VIP yang biasa di pesan Mr. Damien jika akan meeting bersamaku. Selalu di restoran ini. Karena Mr. Damien tahu, aku sangat menyukai makanan disini. Satu-satunya hal yang aku suka jika berada di sini.

"Bonjour, Mr Damien," sapaku saat melihatnya sibuk menyuapkan sup hangat ke mulut seorang anak perempuan berumur 7 tahun. Anak bungsu Mr. Damien, Michelle.

"Bonjour Lalisa!" Balas Mr. Damien bersemangat, menaruh sendok ke mangkuk dan berdiri, kemudian mengecup cepat pipi kiri dan kananku.

"Aunty Lisa!!" Michelle segera bangun dari kursinya dan memeluk kedua kakiku. Aku sedikit membungkuk membalas pelukan Michelle yang bertambah cantik meski baru 2 bulan lalu aku melihatnya.

"Did you bring my candy?" Tanyanya dengan mata hijau yang melebar, sangat berharap aku membawa apa yang dimintanya. Aku tersenyum dan mengangguk, mengeluarkan sebungkus permen berbentuk kaki kesukaannya yang tentu saja harus diimport Mr. Damien jika tiba-tiba si cantik berlesung pipi ini "ngidam". Michelle berteriak girang dan berterima kasih setelah bungkusan permen berpindah ke tangannya.

"Kamu harus tanggung jawab kalau gigi Michelle rusak," Mr. Damien menatapku dan Michelle yang sudah membuka sebuah permen dengan tidak senang. Aku hanya memutar bola mataku, karena dia sangat berlebihan. Tidak mungkin Michelle menghabiskan semua permen itu bersamaan.

Ngomong-ngomong, Mr. Damien ini orang Perancis asli yang fasih berbahasa Indonesia, karena lahir dan besar di Indonesia. Dia baru pindah ke Paris saat berkuliah hingga saat ini. Namun, dia tak lupa dan akan selalu berbahasa Indonesia jika bersamaku.

"Disitulah peran orang tua untuk mencegah hal itu terjadi. Bukankah fungsi utama orang tua mencegah anaknya 'rusak', kan?" Jawabku yang membuatnya tersenyum masam.

"Kamu selalu saja bisa menjawabku. Oh ya, mariage heureux Lisa! Bisa-bisanya kamu nikah dan tidak mengundang saya," Mr. Damien menjabat tanganku erat.

"Yah, saya juga tak berencana. Tapi namanya juga jodoh," aku merasa geli sendiri. Jodoh? Jodoh yang dipaksakan sepertinya.

"Saya akan memberikan kamu hadiah. Tapi nanti kamu pilih saja sendiri setelah selesai meeting," Mr. Damien mengambil sisa permen Michelle dan memasukkan dalam tas sekolahnya yang bergambar Barbie.

Are We Getting Married Yet?Where stories live. Discover now