33

249K 13.3K 421
                                    

Lalisa POV

"Ben!" Panggilku saat Ben keluar begitu saja dari ruang meeting. Aku tahu dia mendengarku, namun dia sepertinya memilih untuk tetap berjalan. "Ben tunggu aku mau bicara!" Ben tetap berjalan, malah lebih cepat. "Benjamin I said wait!" Teriakku hingga membuatnya berhenti. Aku tidak peduli lagi dengan orang-orang yang sudah menatapku aneh yang penting pria yang tiba-tiba tuli ini berhenti menjauh. Ben tak bergeming atau sekedar berbalik padaku. Aku berjalan cepat ke arahnya, melewatinya sambil berucap kepadanya untuk mengikuti ke ruangan kerjaku. Menit berikutnya  kami sudah berada di ruangan pribadiku. Aku berbalik ke arahnya yang ada di belakang, berdiri di depan pintu dengan kepala tertunduk.

"Kamu kenapa?" Tanyaku saat berada di dekatnya.

"Nothing," jawabnya pelan dengan pandangan ke samping kini. Aku menghembuskan napas pelan, seperti mengerti kenapa dia bersikap seperti ini.

"Ben, aku nggak mau kita jadi orang asing hanya karena aku sudah menikah. Kita tetap bisa berteman, kan? Ingat, kita juga rekan bisnis," aku menangkup wajahnya agar mau melihatku. Ben melepaskan kedua tanganku dari wajahnya, dan menggenggam di samping.

"I just," Ben menghela nafas "aku belum bisa menerima kenyataan bahwa aku hanya bisa jadi teman kamu. Selamanya,"

Aku beringsut memeluknya, mencoba meredam kesedihannya. Entah berhasil atau tidak.

"Kamu benci aku?" Gumamku pelan saat melerai pelukan kami. Ben menggeleng cepat dan tersenyum.

"Aku nggak bisa benci kamu, Lisa. Aku hanya butuh waktu," Ben mengelus 2 kali kepalaku. "Aku udah suka kamu dari pertama kali kita ketemu, dan having high expectation for our realtionship. But now, I know the truth, and it really hurt," Ben memaksa untuk tersenyum meski dari wajahnya tersirat kekecewaan yang mendalam. Apa dia sangat menyukaiku?

"Kalo begitu jangan menghindar dari aku lagi. Aku nggak mau kehilangan teman kayak kamu. Be my friend, my bro. Janji?" Aku mengacungkan kelingkingku ke arahnya. Ben tertawa dan mengaitkan kelingkingnya.

"Promise. Tapi, suami kamu nggak marahkan kalo kamu ketemu sama aku? Aku nggak mau dia salah paham,"

"Nggak apa-apa, Saga mengerti. Aku sudah kasih penjelasan ke dia,"

Wajah Ben terlihat lega. Senyum sumringah khas seorang Ben akhirnya muncul setelah beberapa minggu ini tidak melihatnya. Ben kembali menjadi seorang Ben yang ramah, menyenangkan.

"Oke sebagai perayaan kita kembali jadi teman, aku traktir makan siang," seru Ben kemudian berpikir ulang "ah, aku baru ingat kamu pasti makan siang sama suami kamu ya?"

Aku menggeleng "Dia lagi di Makassar sekarang, ada acara seminar khusus dokter obgyn. So, I'm free for now," aku mengangkat kedua bahuku dan kami tertawa lepas bersamaan. Syukurlah, hubungan kami kembali baik seperti sebelumnya setelah semua salah paham ini terselesaikan.
***

"Cuman beli mie doang ajaaaaa lama pake banget," keluh Rere sambil mengusap perut setengah buncitnya yang terus berbunyi karena kelaparan. Hari ini temanya malas-malasan, hingga makanan kami pun makanan makhluk pemalas. Mulai dari mie instan, kornet, sosis, hingga sarden kalengan. Kali ini kami berkumpul di apartemenku. Aku yang mengajak mereka berkumpul, lebih tepatnya menyeret mereka ke sini meski kami sudah kelelahan karena ini hari Senin di mana macet merajalela dengan pekerjaan yang sepertinya tak  akan pernah selesai seumur hidup. Aku tidak ingin sendirian hari ini. Sudah terbiasa berdua dengan Saga di rumah membuatku malas jika harus pulang dan tak menemukan pria itu disudut mana pun dalam.

"Masih giling biji gandum jadi tepung kali," celetukku sambil mengigit biji kuaci yang menjadi satu-satunya makanan yang ada di lemari, di mana Minggu depan sudah masuk tanggal kadaluarsanya. Rere sama sekali tak berminat padahal masih enak meski agak tengik.

Are We Getting Married Yet?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang