01.

110K 4K 148
                                    

Suara ribut kedua remaja itu menggema diseluruh ruangan kediaman keluarga Ardan. Devan--adik Kevan, tengah menatap tajam abang nya, dengan pipi yang menggembul dipenuhi oleh makanan. Sedangkan yang ditatap hanya terkekeh, sambil terus melanjutkan sarapan paginya dengan santai.

"Dev, udah--" Ujar wanita paruh baya, pada putra kedua nya. Dia Mela--ibunda Kevan dan Devan.

"Abang tuh yang mulai duluan!" Adu Devan dengan wajah kesalnya.

"Kalian itu yah, selalu saja ribut. Capek telinga papa denger kalian berantem terus. Setiap hari, rumah selalu rame sama mulut kalian." Andres--ayah Kevan dan Devan, menghembuskan nafas berat.

"Devan nya aja yang lebay pah!" Celetuk Kevan.

"Lo nya aja yang suka gangguin gue!" Ujar Devan tak terima.

"Udah-udah enggak usah mulai lagi. Buruan berangkat ke sekolah, nanti telat." Sergah Mela, saat dirinya melihat Kevan yang sudah membuka mulutnya, hendak membalas ucapan Devan.

"Yaudah. Kevan berangkat mah, pah--" Kevan beranjak, kemudian menyampirkan ranselnya pada bahu kirinya. Ia berjalan menghampiri Mela dan Andres, dengan diikuti oleh Devan dibelakangnya. Mereka mencium punggung tangan Mela dan Andres bergantian.

"Assalamu'alaikum." Ujar Kevan dan Devan bersamaan.

"Waalaikum salam." Balas Mela dan Andres bersamaan pula.

*****

Kevan mengendarai mobil sport nya dengan kecepatan penuh. Dikarenakan tidak terlalu banyaknya kendaraan berlalu lalang, menyebabkan jalanan ibukota yang tampak renggang pagi ini.

Mulutnya bergerak, mengikuti alunan musik yang saat ini ia putar. Ia menoleh, dan mendapati Devan yang tengah terfokus pada ponselnya. Ide jahil tiba-tiba terlintas dipikirannya, ketika ia melihat gedung sekolah Devan yang sudah tampak terlihat.

Citt..
Dukk..

Suara decitan ban, menyatu dengan suara benturan pada kening Devan yang mengenai dashboard. Devan memundurkan kepalanya, seraya mengusap pelan keningnya yang terasa sakit. Ia menoleh kesamping, menatap tajam abangnya yang tengah tertawa.

"Sakit bego!"

"Ck, enggak sopan tuh mulut. Udah sana keluar, nanti gue telat lagi." Ujar Kevan, seraya meredakan tawanya.

Dengan wajah yang masih ditekuk kesal, Devan keluar dari mobil abangnya. Ia menutup pintu mobil Kevan, dengan keras dan kasar.

*****

Senyuman diwajah Vandra, seketika mengembang saat matanya menangkap sebuah bangunan elite dan besar, yang berdiri kokoh dihadapannya. Ah, benar-benar tidak salah, sang-ayah memindahkan dirinya disekolah ini. Mobil jazz berwarna putih yang dikendarainya, perlahan memasuki area parkiran bangunan tersebut.

Semua mata langsung padanya, ketika ia mulai melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah tersebut. Ia mengedarkan pandangannya. Matanya sedikit menyipit, saat ia melihat seorang pria yang tak asing baginya, tengah berbincang ringan bersama dua pria lain. Enggak, enggak mungkin itu dia. Batin Vandra. Tidak ingin ambil pusing, Vandra pun melanjutkan kembali langkahnya untuk menuju ke ruangan kepala sekolah.

"Duh, gue kan enggak tau dimana ruang kepsek." Gumamnya, sambil terus berjalan.

"Hmm.. sorry, gue boleh nanya?" Tanya Vandra, pada seorang siswi yang tengah membaca buku diteras kelas nya.

"Lo orang luar?" Tanya siswi bername-tag Clara itu.

Vandra mengangkat alisnya, "Hah? Maksudnya?"

Kevandra [Akan Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang