7. RASA YANG BERBEDA

Start from the beginning
                                    

Mungkin saja mulut bisa berkata tidak. Tapi mata tak pernah bisa berbohong.

“Aman gak?” tanya Mona pada Mauren.

“Aman,” jawab Mauren. “Gue sempet minta izin buat pake nih tempat. Mumpung sepi. Gak tau kenapa mungkin aja mereka gak nongkrong ke sini. Mereka lagi pada ngedukung temen-temennya yang lagi lomba di sekolah lain. Paling ntar sore baru markas ini rame.”

Septian diam. Mengamati. Tak pernah mengira teman TK-nya senekat ini. Memang Mauren sudah suka sama Septian selama itu.

Dulu Mauren lah satu-satunya anak perempuan yang mau duduk bareng dengan Septian saat TK. Makanya. Semenyebalkan apa pun Mauren. Septian tetap tak bisa marah dengannya. Paling-paling hanya menegur. Ada banyak hutang yang Septian rasa harus bayar untuk Mauren. Mulai dari Mauren kecil yang melindunginya hingga menemaninya.

“Sini lo!” Mauren mengajak Jihan ke belakang mobilnya. Menyudutkan Jihan. “Gak usah berharap kalau mau selamat. Ngerti?”

“Septian itu gak bakal pernah suka sama lo. Gue aja yang dari TK gak bisa buat dia suka sama gue. Apalagi lo? Lo itu cuman orang baru yang masuk di kehidupan Septian! Bisa apa emangnya cewek ganjen kaya lo?”

“Lo tuh kenapa sih, Mauren? Gak suka banget gue deket-deketin Septian? Gue kan bersaing secara sehat sama lo. Emangnya lo?” Jihan makin emosi. “Bawanya geng! Pake minta bantuan Mona segala. Gak berani lo kalau nyerang gue sendiri?”

“NGACA! YANG GANJEN ITU GUE ATAU LO?!” Jihan semakin menjadi. Lalu detik berikutnya Septian dan Bams sama-sama kaget saat Mauren menampar Jihan. Kasar. Hingga sudut mata Jihan berdarah.

Untuk ukuran perempuan Jihan memang berani. Apalagi dengan Mauren yang wataknya kasar. Septian harus akui itu.

“Kurang ajar lo ya?!0 Yang ganjen itu lo bukan gue! Ngaca tolol!” Mauren semakin marah. Egonya terusik saat Jihan berkata ganjen.

“Mauren.” Suara berat itu. Mauren sangat kenal. Itu suara Septian.

“Kok lo di sini?” tanya Mauren bingung melihat Septian serta Bams. Sementara Mona berharap dalam hati agar keduanya tidak mengadu pada Galaksi. Bisa habis Mauren, Mona dan Wenda pada Galaksi. Meski ketiganya perempuan. Tetap saja. Untuk beradu pandang dengan Galaksi apalagi dengan wajah yang tak bersahabat membuat ketiganya ngeri mendadak.

“Harusnya gue yang tanya. Lo ngapain di sini?” Septian bertanya balik.

“Lo gak lupa kan Ren kalau Galaksi gak suka anak buahnya ke markas Avegar tanpa izin dari dia?” tanya Bams. “Balik sana. Pulang. Jangan macem-macem lagi.”

“IH TAPI SIAPA L—”

“Kalau lo gak pulang sekarang dan janji gak bakal ngelakuin ini lagi. Gue bakal sebar di sekolah. Pilih mana?” tanya Septian. Septian yang tak suka bertele-tele. Mematikan lawan bicara adalah keahlian Septian.

Mauren berdecak sebal lalu menendang mobil bagian bawahnya. “Masuk!” perintahnya pada Mona dan Wenda agar ikut masuk ke dalam mobilnya.

“Lo tau gak?” Septian bersender di bagian kanan mobil Mauren—dengan satu tangan terlipat di jendela yang tidak tertutup kaca. Sementara Mauren terus menatap ke arah depan dengan wajah kesal. “Informasi selalu datang untuk orang-orang baik tanpa dia minta. Take care of yourself.”

Mobil Mauren melaju cepat setelah itu. Pergi dari kalangan SMA Kencana. Bisa jadi menjauh juga dari sekolahnya sendiri. Yang jelas ketiganya tidak mau bunuh diri dengan datang ke Warjok. Bisa diamuk massa mereka kalau anak-anak Ravispa sampai tahu apalagi dengar perbuatan ketiganya pada Jihan.

SEPTIHANWhere stories live. Discover now