"Itu neng Rizna." Pak Slamet tersenyum melihat kedatangan Rizna.

Rifky menolehkan kepalanya karena posisinya membelakangi Rizna.

"Udah selesai?" tanya Rifky gugup sambil mematikan ujung rokoknya dan membuang sisa puntung rokok itu ke tempat sampah.

"Udah." Rizna menjawab, ekspresinya terlihat kesal.

Rifky menyadarinya, ia tahu betul kalau Rizna tidak suka melihatnya menghisap nikotin itu.

"Yuk pulang," ajak Rifky, ia buru-buru mengambil motornya.

Setelah pamit dengan pak Slamet, mereka pergi meninggalkan sekolah. Selama perjalanan tidak ada yang bersuara, hanya terdengar bising kendaraan di sekitar mereka. Rifky melihat Rizna melalui kaca spion, Rizna masih memasang wajah kesal.

"Kata Mami mampir dulu ke rumah, Na." Rifky membuka percakapan. "Mami bikin brownies coklat kesukaan kamu."

Tak ada jawaban. Rizna masih diam saja hingga mereka sampai di rumah Rifky. Rizna berjalan mendahului memasuki rumah Rifky. Setelah membuka pintu utama, Rizna mencari keberadaan Mami Kiana.

"Mami Kiana..." panggil Rizna.

"Mami di dapur, sayang." Mami menyahut dari arah dapur.

"Mami..." Rizna memeluk Mami Kiana. Mami membalas pelukannya dan mengecup puncak kepala Rizna. Mereka memang sangat dekat.

"Nih, Mami buatkan brownies coklat kesukaan kamu," kata Mami menunjukkan sepiring brownies setelah menguraikan pelukan mereka.

"Wah... Kue bikinan Mami pasti selalu enak." Mata Rizna berbinar, tersenyum senang.

"Rifky mana?" tanya Mami mencari anaknya.

Rizna mengedikkan bahu, Ia fokus memotong brownies, tanpa menghilangkan senyum bahagianya.

"Ya udah, nanti kalau udah selesai tolong anterin ini ke kamar dia ya sayang. Mami mau beres-beres dapur dulu." Mami menyodorkan sepiring brownies yang sudah ia potong untuk Rifky.

"Ok Mi," jawab Rizna.

***

Kamar di lantai dua dengan pintu warna abu-abu yang bertuliskan 'just beautiful woman can enter' itu terbuka setengah. Rizna menghela napas panjang sebelum masuk ke kamar. Ia memanggil Rifky, matanya menyapu seluruh sudut kamar yang didominasi warna abu-abu. Tapi Rifky tidak ada di kamarnya.

"Mungkin di ruang latihan," gumam Rizna. Ia keluar dari kamar itu dan beralih ke ruangan di depan kamar Rifky yang ia sebut sebagai ruang latihan.

Rizna masuk ke ruang latihan saat Rifky sedang mengambil pedang Anggar. Tubuhnya sudah terbalut kostum latihan berwana putih tulang. Rifky sangat menyukai jenis bela diri ini.

"Hei, kok kesini? Nggak nemenin Mami?" tanya Rifky saat melihat kedatangan Rizna.

"Disuruh Mami nganterin ini buat kamu." Rizna menunjukkan piring brownies yang ia pegang. Kemudian meletakkannya di meja dekat pintu.

"Wanna go to practice?" tanya Rifky sembari mengulurkan pedang Anggar itu pada Rizna.

Rizna menggeleng, melipat tangannya di depan dada sambil menatap Rifky intens.

"Kamu nggak mau jelasin apa-apa ke aku?"

Rifky mengernyit tidak mengerti, ia menurunkan tangannya yang memegang pedang Anggar. Kemudian teringat kejadian di sekolah.

"Ah... Soal ngerokok." Rifky menjentikkan jarinya. "Hehe maaf, sekali doang kok, itu aja ditawarin pak Slamet." Rifky nyengir mengusap belakang kepalanya.

"Nggak biasa ngerokok juga. Lagian masih di lingkungan sekolah tahu. Kamu nggak malu dilihat guru atau adik kelas? Mentang-mentang udah alumni." Rizna mengomel.

Rifky diam sejenak, kemudian ia berbalik menuju bagian tengah ruangan dan duduk di lantai. Ia menepuk lantai di sisi kanannya, mengisyaratkan Rizna untuk duduk. Rizna menurut dan duduk di samping Rifky.

"Ok, aku jelasin." Rifky menghela napas. "Jadi, tadi aku curhat sama pak Slamet masalah Mami sama Papa yang nggak akur. Terus aku dikasih rokok sama dia, katanya lumayan bisa buat ngilangin stres. Ternyata benar, aku sedikit lega waktu aku ngerokok."

"Kamu tahu kan aku benci banget sama itu. Namanya kamu cari penyakit, bukan ngilangin stres. Lagian kamu juga udah biasa kan sama mereka yang nggak akur."

Rifky diam, ia tahu Rizna masih ingin melanjutkan ucapannya.

"Dan nggak di lingkungan sekolah juga kali. Kamu hargai peraturan di tempat yang kamu datangi. Walau kamu udah bukan murid di sekolah lagi."

"Iya, iya, maaf cantik." Rifky mengusap belakang kepala Rizna sambil tersenyum tulus.

"Ok dimaafkan, tapi awas aja kalau diulang."

"Iya janji nggak ngulang." Rifky mengacungkan jari kelingkingnya, hingga kelingking mereka saling bertautan.

"Kapan kamu berangkat?" tanya Rizna.

"Dua minggu lagi," jawab Rifky.

"Kamu kenapa stres? Kan udah biasa Mami sama Om nggak akur?"

"Mami nggak ngebolehin aku tinggal sama Papa selama aku kuliah di sana." Rifky menghela napas lelah.

Rizna mengangguk mengerti. "Kamu pernah mikirin nggak sih, mungkin Mami Kiana bakal kesepian kalau kamu nggak ada?"

Rifky mengangguk. Dia juga sebenarnya memikirkan itu.

"Mungkin menurut Mami, Om udah punya keluarga sendiri sekarang. Mami nggak pengin kamu tinggal sama Om karena kamu satu-satunya keluarganya, Mas. Mami nggak mau kesepian."

"Iya aku tahu, tapi itu kampus impian aku. Ya, kebetulan aja kalau papa juga tinggal di sana."

"Padahal kampus Ayahku ngajar juga bagus. Kenapa nggak kuliah di sini aja." Setelah mengatakan itu Rizna menundukkan kepalanya, wajahnya cemberut.

"Duuh, jangan bikin aku berat ninggalin kamu juga dong." Rifky merangkul Rizna, menarik lembut kepala gadis itu untuk bersandar di bahunya.

"Dia pergi, kamu juga pergi. Kalian sama aja." Rizna mendengus.

Mereka sudah terbiasa bersama, tumbuh bersama. Apa lagi setelah banyak hal yang Rizna alami karena cowok itu, Rifky selalu ada disampingnya, menjadi tempatnya bersandar. Jadi wajar saja kalau Rizna sedih jika Rifky juga pergi.

"Kamu tahu nggak definisi pergi?" tanya Rifky mengusap rambut Rizna.
Rizna yang menyender di bahu Rifky menggeleng tidak mengerti.

"Pertama, pergi meninggalkan kenangan dan tak akan pernah kembali. Kedua, pergi untuk suatu tujuan dan akan kembali setelah mencapai tujuan." Rifky berhenti sejenak. "Kamu tahu betul di sini tempat aku pulang. Jadi, definisi kedua yang harus selalu kamu ingat." Rifky tersenyum menenangkan.

Rizna mengangguk mengerti. Ia menengadahkan kepalanya menatap Rifky dengan tersenyum lega.

"Aku akan selau pulang, karena kamu adalah rumah untuk aku pulang. Sejauh apapun aku pergi," batin Rifky.

***

Terimakasih sudah membaca Akhir Penantian.

Malam minggu dikasih yg manis-manis, monmaap kalo kurang manis ya, takut diabetes 😌

Jangan lupa vote and comment ya 😉

Boleh share juga kok cerita ini ke sosmed atau teman kalian.

Kalian shipper yg mana?

Rizna-Tian?

Rizna-Rifky?

Note:

Sekbid : seksi bidang

LPKS : Latihan pengembangan kepemimpinan siswa (re-organisasi OSIS) nggak tau sih kalo d sekolah lain namanya apa. 😁

Salam manis,
Ziana

Ig. Zianaamelia

Akhir Penantian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang