Chapter 22

394 26 14
                                    


"Tsukuyo."

Tsuki berbalik menatap Gintoki. "Apa?"

"Kau mau makan siang dengan baju seperti itu?" tanya Gintoki sambil bersedekap dan bersandar ke tembok.

Tsuki melihat ke bawah. Dia mengenakan tank top hitam, celana pendek hitam, dan sepatu keds putih.

"Memangnya, ada masalah dengan baju ini?" tanya Tsuki.

Gintoki terdiam sejenak. "Ada."

Gintoki berjalan dan berhenti persis di hadapan Tsuki. Dia menempelkan dahinya pada dahi Tsuki.

"Aku tidak mau pacarku menjadi konsumsi publik," bisik Gintoki. "Ganti bajumu."

"Ah," suara Tsuki meninggi. "Kita cuma makan siang di warung ramen belakang sini, kan? Tempatnya dekat, tidak ada siapa-siapa di sana."

Gintoki menarik kepalanya dan berjalan menuju pintu depan. "Terserah. Aku makan sendiri saja. Nanti aku bawakan makanan. Kamu mau apa?"

"Oi, Gintoki," Tsuki bertolak pinggang. "Ada apa denganmu?! Kemarin-kemarin, kamu tidak masalah jika aku mengenakan baju seperti ini!"

Gintoki berbalik. "Sekarang, kau tahu masalahnya di mana?"

Tsuki menggeleng.

"Masalahnya," Gintoki membakar rokoknya dan menyemburkan asapnya ke atas. "Aku akan menjadi suamimu dua minggu lagi. Dan calon suamimu ini ingin calon istrinya mengenakan baju yang lebih tertutup. Untuk sementara saja, sampai kita menikah nanti."

"Bilang kek, daritadi," kata Tsuki. "Aku ambil kemeja sebentar."

Tsuki meninggalkan Gintoki yang sedang merokok ke kamarnya. Tsuki pun kembali dan sudah mengenakan kemeja.

"Begini?" tanya Tsuki.

Gintoki memperhatikan Tsuki dari bawah ke atas sambil mengisap rokoknya. "Pahamu besar juga."

"Oke, aku ganti celana jeans," Tsuki berbalik. Namun, Gintoki telah meraih tangannya.

"Begini sudah cukup. Ayo, aku lapar," kata Gintoki.

Keduanya berjalan keluar rumah Hinowa menuju warung ramen di belakang rumah Hinowa. Tiba-tiba, handphone Gintoki berbunyi.

"Oi, Tatsuma! Ada apa?" tanya Gintoki melalui telepon. "Oh? Nanti malam? Boleh, boleh. Di bar Otose saja, bagaimana? Aku masih menyimpan satu botol whiskey."

Tsuki mendengus mendengar percakapan Gintoki dan Sakamoto di telepon. Pandangannya beralih ke depan, dan di hadapannya, ada dua orang pria yang memperhatikannya.

Tsuki terus memperhatikan kedua pria itu. Kedua pria tersebut memperhatikan kakinya yang jenjang.

Tsuki mendadak gelisah. Dia merasa tidak enak diperhatikan seperti itu. Dia ingin marah dan menghajar kedua pria itu. Tatapan mereka semakin lama semakin kurang ajar.

Tangan Gintoki mendadak melingkar di bahu Tsuki. Gintoki merangkulnya dan mendekapnya. Tsuki menatap Gintoki, namun Gintoki masih bicara dengan Sakamoto melalui telepon.

Tangan Gintoki bergerak dan mengusap-usap kepala Tsuki. Tiba-tiba, telapak tangan Gintoki menutup kedua matanya.

"Oi! Apa, sih?! Buka!" kata Tsuki sambil menarik tangan Gintoki.

Tsuki menatap kesal Gintoki yang masih bicara dengan Sakamoto. Wajah Gintoki juga menghadap ke kanan. Dia terlihat senang bicara dengan Sakamoto.

Pandangan Tsuki beralih pada dua pria yang memperhatikannya. Keduanya kini memalingkan muka, membuat Tsuki bertanya-tanya seiring dia dan Gintoki melewati mereka.

"Oke, sampai nanti, Tatsuma!" Gintoki mematikan telepon dan menyimpan handphone-nya di saku celananya.

"Kenapa kau menutup mataku?" tanya Tsuki.

"Tidak apa-apa, iseng saja," jawab Gintoki. Dia masih merangkul Tsuki.

"Kau tahu, ya?"

"Tahu apa?"

"Kau sadar bahwa ada dua orang yang memperhatikanku?"

"Ya, tahulah. Mereka pasti mengagung-agungkan buah dadamu."

"Gintoki."

"Iya, aku tahu. Aku menutup matamu agar kamu tidak emosi dan menghajar mereka dengan kunai-mu. Cukup aku saja."

"Lalu, kau apakan mereka sampai mereka memalingkan wajah mereka dariku?"

"Mungkin mereka malu bertemu pria gagah sepertiku. Rambutku putih seperti ubanan, dan mereka terheran-heran kenapa pria tua sepertiku bisa mendapat wanita ranum sepertimu."

"Gintoki."

"Aku memelototi mereka."

"Kenapa?"

"Peringatan saja, agar tidak memandang wanitaku terlalu lama."

"Oh, jadi ini sisi romantis Shiroyasha?"

"Baka. Ini bukan romantis, tapi ini caraku agar kau dihargai seperti seorang wanita terhormat di Yoshiwara."

Tsuki mendengus. Tanpa dia sadari, senyumnya merekah.

Itulah Gintoki. Meski dia bodoh, suka seenaknya, menanggapi beberapa hal dengan bercanda, asal bicara, tak pernah terlihat serius, tapi dia menghargaiku sebagai seorang wanita.

Aku lega diberi kesempatan untuk mencintai Gintoki. Aku lega Gintoki mau terbuka untukku dan mengizinkanku untuk masuk ke dalam kehidupannya. Aku bersyukur Gintoki percaya padaku untuk bersanding dengannya. Aku benar-benar bersyukur, orang seperti Gintoki memilihku untuk menjadi teman hidupnya.

Aku pikir, tak ada orang di dunia ini yang seperti dia. Dia mencintaiku dengan caranya sendiri. Dia menjadi dirinya sendiri saat berhadapan denganku. Meski tidak romantis seperti pria-pria lain, aku mendapatkan suami yang bertanggung jawab dan memikirkan aku.

Selama ini, Gintoki selalu ada di sisiku meski dia jauh. Walau aku tidak bisa menggapainya, dia seperti selalu ada saat aku butuhkan. Hidup bersamanya tapi tidak melihat sosoknya atau pun bicara padanya memang menyakitkan, tapi aku tahu kalau dia akan pulang ke pelukanku.

Aku rasa, kami impas. Dia sering berdarah untukku, dan sekarang aku berdarah untuknya. Jika aku tidak salah lihat, dia sudah pulang. Sekarang, giliranku untuk pulang padanya. Ke pelukannya, untuk hidup selamanya dalam dekapannya.

Tapi, entah kenapa, kedua mataku tak ingin terbuka. Aku merasa lelah, dan cukup sulit untuk mengatur napas. Tapi, aku ingin melihatnya. Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin mendengar suaranya. Aku ingin menyentuhnya.

"Tsukuyo."

Gintoki?

"Bangun, Tsukuyo."

Gintoki? Aku tidak bisa melihatmu.

"Buka matamu, Tsukuyo."

Gintoki?

"Aku rindu. Bangun."

Gintoki?

"Bangun, bagero."

Dan Tsuki membuka kedua matanya.

Die Another Day 3Where stories live. Discover now