Chapter 6

354 25 17
                                    


"Temmera!"

Ujung pedang Takasugi nyaris menyentuh dagu Hijikata. Namun, Hijikata tetap diam di tempatnya.

"Kenapa kau tidak bilang hal ini dari kemarin-kemarin?!" teriak Takasugi. "Sudah aku bilang kan sejak awal, mengirimnya pergi seorang diri bukanlah ide yang brilian!"

"Turunkan pedangmu, Takasugi," Katsura bicara dengan tenang dalam keadaan duduk. "Kita bicara dulu."

Takasugi menatap tajam Hijikata. Hijikata masih bergeming.

"Hei, hei, ayo, turunkan pedangmu, anak manis," Kondou muncul tiba-tiba dari belakang Takasugi dan memijat bahunya. "Duduklah, mau es krim?"

"Aku bukan anak SD ingusan sepertimu, Isao Kondou," ucap Takasugi.

"Takasugi-san, ada pemandian air panas yang mewah di dekat lokasi Danna menghilang," kata Sougo sambil menunjuk handphone-nya.

"Oh, mana?" Takasugi memasukkan pedangnya pada sarungnya dan menghampiri Sougo.

"Hijikata-san," Katsura menatap Hijikata yang kini duduk di depannya. "Kau sudah menanyakan ke bandara terdekat apakah ada penumpang bernama Sakata Gintoki?"

"Saitou sudah meminta informasi dan mereka bilang selama satu minggu terakhir, tidak ada orang yang bernama Sakata Gintoki."

"Bagaimana dengan ID yang kalian buatkan untuk penyamarannya?" tanya Sakamoto.

"Kami memberinya identitas baru dengan nama Kogoro Mouri, tapi Saitou tidak menemukan nama itu dari daftar penumpang seluruh maskapai yang beroperasi sejak minggu lalu," jawab Hijikata.

Katsura menatap ke arah lain. "Aneh."

"Satu hal, Hijikata-san. Dia tidak mungkin mati. Dia tidak boleh mati. Dia masih berutang majalah dewasa padaku. Dia punya edisi eksklusif Rin Tomosaki. Dia berjanji padaku untuk meminjamkannya," kata Sakamoto.

"Dia juga berjanji mau membelikan aku sampo Emeron," ucap Katsura. "Hijikata-san, apakah ada saksi mata?"

"Ada seorang pria berumur 42 tahun yang rumahnya persis di samping lokasi meledaknya motor Gintoki. Dia tidak mendengar suara apa pun sebelum ledakan. Dia sempat bertemu Gintoki, dia bilang Gintoki menghentikan motornya dan masih pada posisinya sekitar 5-6 menit sebelum ledakan. Di sekitar situ tidak ada CCTV, dan tak ada saksi mata lain," jelas Hijikata.

"Apa yang dia lakukan?" tanya Katsura.

"Pria itu hanya bilang Gintoki menghentikan motornya dan masih berada di atas motornya. Dia juga bilang Gintoki mengecek sesuatu di dalam tasnya," kata Hijikata.

Telepon di ruang kerja Kondou tiba-tiba berdering. Kondou buru-buru mengangkatnya.

"Isao Kondou," katanya. Dia terdiam sejenak. "Apa maksudmu?"

Kondou menatap tajam Hijikata.

"Baik, aku ke sana," dan Kondou menutup telepon. "Utsuro membuka matanya. Kita ke ruang bawah tanah sekarang."

***

"Aku tak pernah tahu kalian punya ruang bawah tanah sekeren dan secanggih ini," ujar Sakamoto sambil melihat sekeliling. "Tapi, kenapa pintu masuknya dari toilet?"

"Agar keren seperti di film-film," jawab Kondou. "Maaf, lorong ini agak bau kotoran."

Sougo, Kondou, Hijikata, Katsura, Sakamoto, dan Takasugi tiba di ujung lorong. Kondou memasukkan password dengan menekan beberapa tombol di dekat pintu dan pintu di hadapan mereka terbuka.

Di hadapan mereka, ada pintu lagi. Di sebelah kanan, ada alat pendeteksi sidik jari.

"Aku mohon maaf," Kondou membuka celananya. "Alat deteksi ini bukan untuk sidik jari, tapi sidik burung."

Semua orang terdiam saat Kondou menempelkan burung elang kebanggannya ke alat deteksi. Pintu pun terbuka.

Di balik pintu, terlihat sebuah akuarium berbentuk tabung. Di dalamnya, ada orang yang tubuhnya dipasangkan kabel dan selang. Kaki, tangan, leher, dan perutnya dirantai.

Takasugi dan Katsura melotot melihat pemandangan tersebut. Mata Utsuro terbuka lebar, namun tatapannya kosong. Mulutnya dipasang maser oksigen transparan, dan mulutnya terlihat terbuka lebar.

Katsura dan Takasugi berjalan mendekat. Mereka melihat kedua mata Utsuro memerah. Wajahnya terlihat mengeras, dan urat-uratnya menonjol di beberapa bagian, terutama di kepala dan lehernya.

"Oh, kalian."

Seseorang menyapa Kondou dan rombongannya.

"Ge-Gengai!?" mulut Katsura terbuka lebar. "Sedang apa kau di sini!?"

"Bakar menyan. Ya, bekerjalah. Aku kan, sudah lama bekerja untuk Shinsengumi. Dan saat ini, aku bertugas untuk menjaga dan memantau Utsuro," jelas Gengai. "Mesin-mesin yang digunakan di sini, semuanya buatanku. Termasuk tabung Hitsugi yang sengaja aku bentuk seperti Gunpla."

"Oi, Gengai, ada apa dengan Utsuro?" tanya Hijikata.

"Oh, ya, begini. 10 menit yang lalu, tiba-tiba dia terlihat mengejan. Aku pikir, dia ingin buang air besar dan kembali mengotori akuariumnya. Tapi, dia mengejan seperti kesakitan," kata Gengai.

"Matanya terbuka lebar sekali dan bola matanya sempat bergerak ke kanan dan ke kiri. Pernapasannya mendadak bermasalah, seperti berhenti sejenak. Aku punya alat yang bisa meniru jantungnya dan aku menghubungkannya dengan Utsuro. Tentu saja sebelumnya aku sudah merekam dan menyamakan denyut jantung Utsuro, jadi aku tahu apa yang terjadi dengan jantungnya."

"Saat aku melihat ke monitor, tekanan darahnya naik dan mendadak jatuh. Sesuatu terjadi pada jantungnya. Kemungkinan besar, jantungnya terluka."

Mulut semua orang menganga.

"A-apa maksudmu?" tanya Sakamoto.

"Aku sudah melakukan uji coba pada alat ini. Alat ini adalah replika jantung Utsuro, anggap saja sama. Apa yang terjadi pada jantungnya, alat ini bisa membacanya. Dan alat ini mengatakan demikian," terang Gengai.

"Menurut catatanku, jantung Utsuro tergores. Bisa juga, sempat tertusuk. Tekanan dan shock yang diciptakan jantung asli Utsuro mengejutkan tubuh Utsuro. Bisa dibilang, Utsuro bisa merasakan sakit saat jantungnya terluka. Makanya dia terlihat mengejan."

Gengai menunjuk wajah Utsuro. "Wajahnya seperti orang mengalami kejang. Dia masih merasakan sakit sampai sekarang. Lukanya tidak parah, hanya saja Utsuro mengalami shock. Tapi, aku tetap tidak tahu apa yang terjadi pada jantungnya. Yang jelas, dia masih merasa kesakitan. Urat-uratnya masih kejang."

"Gintoki!" Takasugi berteriak. Nadanya marah.

"Apakah kau bisa menyembuhkannya?" tanya Katsura.

Gengai menggeleng. "Aku hanya bisa memberinya obat penenang. Aku sudah menyuntikkan obat penenang dosis tinggi beberapa menit sebelum kalian datang. Bisa dibilang, Utsuro kini sedikit tenang. Detak jantungnya melambat, dan napasnya sudah cukup teratur. Dia akan kembali tidak sadar dalam waktu satu jam."

"Aku harus mencarinya," kata Takasugi. "Gintoki dan Utsuro bisa mati jika begini caranya."

Takasugi menatap Katsura. "Aku akan ke Fukuoka malam ini."

"Apa yang akan kau lakukan di sana, Takasugi? Tim Saitou sudah bekerja keras. Biarkan dia bekerja, kita tunggu saja kabarnya di sini," ucap Katsura.

"Kau mau ke sana untuk Danna atau onsen mewah yang kau lihat tadi?" tanya Sougo.

"Aku mencari Gintoki. Tapi, untuk menenangkan pikiran, jiwa, dan raga, aku akan mencoba onsen tersebut bes..."

Takasugi jatuh terjerembab di lantai setelah Katsura dan Hijikata menendang kepalanya.

"Aku pikir, Saitou butuh bantuan. Takasugi, jika kau ingin ke sana, aku memberimu izin," kata Kondou.

Takasugi, dengan wajah masih menempel ke lantai, mengangkat tangannya dan memberi jempol.

Sougo menatap Katsura. "Zura-san, Danna benar-benar dalam bahaya."

"Zura janai, Katsura da," kata Katsura. "Ini mengkhawatirkan."

Die Another Day 3Where stories live. Discover now