14. Quicksilver ☕

Start from the beginning
                                        

Gio sesekali berbalik, memastikan Rama dan Edward tidak melihatnya membawa kabur Erva. Gio bersyukur Rean tidak ada di sana. Ia pantang mencari perkara dengan ahli bela diri sekelas Rean.

Gio menyelinap masuk ke ruang tes kesehatan yang sepi. Ada berbagai alat untuk mengecek kesehatan di dalam sana, mulai dari meteran pengukur tinggi badan, timbangan, snellen chart, buku tes buta warna, perangkat berikut reagen untuk tes narkoba, dan banyak lagi instrumen lain. Tugas Gio sekarang adalah memastikan Erva tidak menjangkau alat-alat tersebut. Bisa gawat kalau mereka harus mengganti rugi.

Biasanya Gio sudah akan mengambil posisi di depan laptop dan mengetikkan beberapa lembar laporan untuk dikirim ke admin utama Notix. Informasi yang diperolehnya terkait kecelakaan yang menimpa Aldo sudah cukup. Rekaman CCTV membuktikan bahwa kejadian itu hanyalah kecelakaan tunggal akibat kelalaian semata. Gio sudah berhasil mendapatkan salinan filenya, lagi-lagi dengan menyongok operator fakuktas. Dokter Vian menjelaskan bahwa kondisi badan Aldo memang sedang tidak fit. Aldo yang sudah siuman pun membenarkan.

Berita yang lumayan sederhana, namun Gio cukup piawai dalam hal ini. Poin pentingnya adalah Aldo jatuh dari tangga tepat di hari yang sama dengan keluarnya keputusan tim ad hoc fakultas. Gio akan membentuk opini publik dengan melemparkan pertanyaan jebakan, di mana netizen dengan sendirinya akan tergiring ke dalam sebuah asumsi yang telah diatur Gio dan akan terus menyebarkan opininya. Dengan begitu, Gio akan sukses membuat tulisannya viral sementara dirinya tetap terbebas tuduhan membuat berita hoax.

Tapi itu nanti. Sekarang ada masalah yang jauh lebih penting. Erva.

Gio tidak bisa tenang sejak percakapannya via online dengan Erva tadi malam. Apalagi Erva terkesan menghindarinya seharian ini. Gio khawatir bila Erva tahu jati dirinya.

"Jangan takut, Va. Aku nggak akan macam-macam sama kamu, kok. Aku cuma mau bicara sebentar." Gio berusaha menenangkan Erva yang ketakutan. Matanya terpejam sedang mulutnya terus berkomat-kamit sejak tadi.

"Ka-kamu mau bicara apa?"

Gio menghela napas melihat Erva yang akhirnya berani bersuara. "Kamu tahu sesuatu tentangku, kan?"

Mata Erva membulat. Dirinya tertangkap basah sementara doa keselamatan dunia-akhirat yang dirapalkannya sejak memasuki ruang tes kesehatan itu terus berputar di tiga kata pertama saja.

Erva kemudian menyerah, menggantungkan nasibnya pada keputusan Tuhan. "Tentang Notix?" terkanya ragu-ragu.

Gio merasakan detak jantungnya meningkat. Erva benar-benar tahu siapa dirinya.

"Bagaimana kamu bisa tahu?! Apa yang lain juga tahu tentang ini?!" Gio semakin resah.

"Ti-tidak ada orang lain yang tahu!" Erva terpaksa berbohong demi keselamatan teman-temannya.

Gio mengelus dada mendengarnya. "Kamu tahu dari mana?"

"Itu ... anu ... Kak Imam ...." Erva mengarang sembarang alasan dengan bergumam rendah, berharap Gio tidak bertanya lebih jauh lagi.

Di sisi lain, Gio terjebak praduganya sendiri. Kemarin saat praktikumnya dibubarkan, ia memang sempat berbincang dengan Imam. Gio tidak menyangka Erva mendengar pembicaraan mereka.

Gio meraih tangan Erva. Tidak ada jalan lain selain memohon pada Erva untuk merahasiakan identitasnya. Gio akan menerima kosekuensi yang sangat berat bila admin utama tahu bocornya informasi tentang mereka.

"Aku mohon, Va. Bahaya kalau sampai orang lain tahu. Ini bukan untuk keselamatanku saja, tapi untukmu juga. Tolong rahasiakan masalah ini, ya?" Gio memelas, memohon simpati dari Erva yang terus mengerjap menatapnya.

Erva mengangguk pelan, membuat Gio bernapas lega seketika. Beruntung Erva yang polos ini tidak banyak membantah.

"Tapi Gio, kamu bilang ini bahaya, kan? Kalau begitu berhenti saja." Erva balas menggenggam tangan Gio.

"Tidak bisa, Va. Aku sudah terlibat kontrak. Notix juga banyak membantuku selama ini." Gio memelankan suaranya.

"Tapi kalau ikut perkumpulan sesat begitu kamu bisa masuk neraka."

Gio terkekeh, disebut perkumpulan sesat seharusnya membuatnya tersinggung, namun karena Erva mengatakannya dengan penuh ketulusan, perasaannya justru sebaliknya.

Gio berjalan di belakang Erva menuju ruang pemeriksaan Aldo. Erva sama sekali tidak mengancamnya atau meminta ini-itu, bahkan terus memaksanya untuk bertobat.

"Ah, apa karena itu dia mengirimiku ayat kursi?" Gio mengulum senyum. "Dasar Erva, aku kan bukan setan. Dia benar-benar tidak seperti perempuan kebanyakan."

Gio terus memperhatikan Erva yang kembali berkumpul dengan teman-temannya. Rean pun sudah ada di sana. Untungnya Gio kebetulan bersama Naya saat peristiwa tersebut terjadi sehingga keberadaannya di tengah-tengah mereka tidak terkesan mencurigakan.

Gio meraih ponsel di laci tasnya yang sengaja ditinggalkan dengan voice recorder yang menyala. Ia memasang headset, menikmati alunan pembicaraan yang ada dalam list rekamannya. Informasi terbaru yang berhasil ia dapatkan adalah nasib malang Aldo karena mengalami cedera lutut parah yang mengancam posisinya sebagai striker di tim futsal kampus.

Tunggu!

Gio tersentak begitu di tiga menit terakhir mendengar sebuah percakapan lain. Seperti seseorang yang sedang berbisik. Gio meningkatkan volume ponselnya dan menyimak baik-baik.

Begitu rekamannya selesai, Gio duduk terpaku. Wajahnya pucat. Pandangannya tak lepas dari kerumanan orang di depan ruang pemeriksaan.

Apa maksudnya ini? Jadi kecelakaan yang menimpa kak Aldo itu sudah direncanakan?

☕☕☕

TBC

Prescriptio☕  Where stories live. Discover now