crosing border

66 72 42
                                    







Seperti biasa pagi ini diawali oleh tatapan mematikan dari teman sekelasku, aku sudah lelah untuk menangis karena hal itu. sesuai jadwal hari ini class meeting sangat disayangkan karena band ku tak bisa tampil untuk kali ini, aku pun tak dapat giliran untuk ikut dalam lomba antar kelas


Hari yang membosankan akan segera dimulai


Karena bosan, dari pada aku diam dikelas dan mendapat tatapan mematikan atau diam dilapangan melihat murid-murid lain yang lomba ditengah matahari yang terik aku lebih memilih untuk diam di kantin sambil sesekali membantu tante ina bekerja sampai aku tak sengaja tersandung dan nampan bakso yang sedang kubawa terpental dan mengenai badan orang yang ada di depanku, TAMAT RIWAYATKU, DIA DONI!

" Mau lu apa sih? " Ucapnya dingin sambil mendekat padaku, aku masih menunduk tak berani melihat matanya

" Yang kemarin belum puas? Mau nambah lagi? Ck harusnya lu tuh bersyukur karena gw masih kasih ampun sama lu "
" Tapi sekarang kayaknya kita gk main ampun lagi deh " lanjutnya, walau kepalaku menunduk tapi aku bisa tahu dia memberikan smirk nya dan menatapku seolah mengejek.
Aku tak mau tinggal diam, aku balik menatapnya dengan tatapan tajam

" Sebenarnya aku punya salah apa sih sama kamu?! Kenapa kamu benci sama aku--- "

" Karena lu aib " potongnya membuat mataku memerah bisakah aku hidup tanpa kata itu sehari saja? Aku muak!

" Tau apa kamu tentang hidup aku? Kamu itu cuma orang asing yang sok tau sama kehidupanku! "

" Semua yang ada disini juga tau, kalau lu itu anak haram! Lu kira ibu lu itu baik? Dia itu lonte! "
Tukas doni, dia bilang ibu ku lonte?! Ibu, aku sudah tak tahan, tolong aku!

" Jangan ikut campur kehidupan aku dan keluargaku! Dan jaga mulut kamu, ibuku gk seburuk yang kalian pikir! "


" Maling itu gk mau ngaku maling, begitu juga sama lu. Anak haram gk mau ngaku anak haram, sekarang bersihin baju gw atau kejadian kayak kemarin bakal terulang lagi? "
Ancam doni padaku, daripada terus berdebat dengannya,aku lebih memilih untuk membersihkan bajunya dan pergi tak mau bersiteru lagi dengannya.

Aku mendekat kearahnya sambil mengambil tissue untuk membersihkan bajunya, tapi baru aku akan mengelap bajunya dia sudah bersuara lagi

" Siapa suruh lu bersihin pake tissue? Jilat--- "

What the fuck ! Doni sudah tak waras, refleks aku mendorong tubuhnya dan menatapnya sengit, doni yang merasa aku sudah masuk dalam perangkapnya langsung melirik teman-temannya dan seketika tubuhku sudah tertutupi tepung dan bau aneh--- telur busuk?! Mereka benar-benar ingin membuatku marah! Bahkan sekarang ada yang menjenggut rambutku dari belakang, aku tahu siapa dia, arin. Pacar doni itu memang suka membully juga dan aku juga merasakan teman-temannya yang lain menempelkan sesuatu dipunggungku

" anak haram kayak dia tuh harus nya mati! "
Ucap arin disusul gelak tawa orang yang berada dikantin, jangan tanya dimana tante ina, sebelumnya ia bilang akan ke toilet tapi ia belum juga balik pasti doni dan teman-temannya mengusilinya juga, dasar iblis!

Aku terduduk lemas dilantai, aku lelah, ibu aku lelah, aku lelah.
Baru aku diam seseorang menendang punggungku dengan keras yang membuatku memegang ujung rok-ku, sakit itulah yang kurasakan

" Harusnya lu itu tau diri ! "

" Kayaknya urat malu nya udah putus hhh "

" Anak haram penyebar aib "

" Orang bego "

" Carmuk "

" Dia yang suka nangis dikamar mandi kan? Kirain setan eh beneran setan ternyata hhh"

Segala cemoohan mereka timpalkan padaku, mereka itu sudah dewasa tapi apakah mereka bisa bersikap lebih dewasa mengikuti umurnya?! Aku terus memegangi dadaku yang sesak. Tidak, aku akan bertahan, demi ibu aku tak mau meninggalkannya bersama manusia berhati iblis ini.

" SEMUANYA KE LAPANGAN! DONI, ARIN, KIKO IKUT IBU KE RUANGAN! "
teriak bu lasrti--- guru bk ku--- yang datang bersama bu sari yang langsung berlari dan memeluk tubuhku yang kacau.


Terakhir kali aku datang ke ruang BK saat sebulan yang lalu karena menjadi saksi atas pembullian arin kepada reha -- teman sekelasku yang bisu -- dan sekarang aku kembali bukan sebagai saksi melainkan korban.

Aku, doni dan arin diberikan beberapa pertanyaan tentang kasus tadi oleh bu lastri, tapi doni dan arin tidak mau mengakui kesalahannya, padahal bu lastri sudah mengumumkan bahwa kasus ini akibat mereka, mereka juga tak mau meminta maaf padaku. Sudah kuduga, mana mau ia meminta maaf rasa gengsinya lebih besar daripada badannya!

Sedangkan antek-antek doni dan arin yang ikut membulliku juga ikut terkena hukuman, mereka dikumpulkan dilapangan dan dijemur hingga waktu yang ditentukan, sebenarnya aku tak tega melihat mereka dihukum tapi itu memang balasan untuk perbuatannya, mereka pantas mendapatkannya.

Setelah keluar ruang BK, bu sari menarikku ke ruangan band dan memandangku dengan raut yang tak bisa kudekripsikan

" Kamu udah coba temui ayahmu? "

Aku mengernyit bingung, kenapa tiba-tiba ia membahas tentang ayah? Ya, selama ini bu sari lah yang memberikan fakta siapa ayahku dan dimana sekarang ia tinggal, tapi ketika aku tanya darimana ia bisa tahu, ia tak menjawab dan hanya tersenyum simpul

" Pernah sekali tapi gk lama dan gk bertemu ayah, aku takut ibu nanti cari aku, jakarta itu kan jauh bu "

" Mau ibu antar? Ibu siap mengantar kamu "

Ucap bu sari, tangannya sudah menggenggam tanganku erat

" Bu, boleh kiko tanya... Sebenarnya ibu punya hubungan apa sama ayah kiko? Apa bu sari kenal sama ibu kiko? "
Tanyaku hati-hati, aku takut ia tersinggung

" Itu gk penting ki, yang ibu tanya kamu mau ketemu ayah kan? "

" Itu penting bu, kenapa ibu kasih tau kiko alamat ayah sedangkan ibu kiko sendiri gk pernah bahkan gk mau bahas ayah "
Dia terdiam beberapa saat sampai mulai memelukku, aku bisa merasakan bahunya bergetar dan pundak bajuku mulai basah, ia menangis.

" Bu sari, ayah kiko dan ibu kiko, kami dulu berteman nak... "
" Kiko, bu sari tau seharusnya bu sari gk ikut campur atas kehidupan keluargamu, tapi anggi dan tara itu teman ibu dan ibu gk mau lihat kamu merasa sakit karena hubungan mereka "

Pelukannya makin erat, seberapa banyak lagi fakta yang ibu tutupi padaku, aku berhak tau tentang keluargaku bu, kenapa aku harus tau semua itu dari mulut orang lain?!

" Bahkan ibu kiko gk pernah menyebutkan nama ayah-- "
Lirihku, sebuah fakta yang benar adanya. Selama 14 tahun aku hidup tanpa mengetahui apapun tentang ayahku, bahkan namanya dan setelah aku bertemu bu sari, barulah aku tahu nama ayahku.

" Kalau kiko mau bertemu ayah, kamu bilang bu sari ya nanti ibu antar, ibu juga punya urusan yang harus dibicarakan sama ayahmu "
Ucapnya ia sudah melepas pelukanya dan memegang pundakku sambil menatapku dalam

" Tapi... Apa ayah bakal nerima kedatangan kiko? Kiko gk mau dengan kehadiran kiko, membuat ayah kecewa "


Aku sering berfikir apakah ayah meninggalkan keluarga kami karena orang-orang menge-cap aku dan ibu sebagai aib? Atau untuk meninggalkan jejak karena aku ini anak haram yang tak diinginkan hidup? Aku rindu ayah, namun disisi lain aku benci ayah.

bordersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang