"Apa?" tanya Tiara bingung saat melihat senyum lebar pamannya.

"Pamanmu ini sedang sakit dan harusnya kau membantu pria lemah sepertiku," kata sang paman menatap ke arah apel merah di atas meja.

"Yang sakit kan kepala Paman, kenapa tangan Paman yang tidak bisa bergerak?" kata Tiara saat memahami maksud pamannya dan betapa pun ia menyayangi pamannya, tapi gadis itu jarang mau disuruh. Tiara memang bukan orang yang suka disuruh, tapi sebaliknya gadis itu lebih suka menyuruh orang daripada disuruh.

"Ayolah, tubuh Paman sedang pegal-pegal," bujuk Unggul yang meskipun ia tahu Tiara tak akan dengan mudah menyetujui permintaannya, tapi ia tak peduli. Hari ini ia sedang ingin sedikit bermanja dengan keponakannya yang sangat ia rindukan itu, apalagi ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan keponakananya itu dan seperti biasanya ia selalu mengobrol dengan keponakannya sambil menyantap makanan untuk mencairkan suasana.

"Iya-iya, Tiara kupasin," akhirnya Tiara setuju.

"Anak baik," kata Unggul sembari menepuk pelan pipi Tiara.

"Permisi, boleh kami menganggu sebentar?"

Tiara menoleh seketika mendengar suara bernada rendah itu dan tiga orang pria berseragam polisi berdiri di dekat pintu.

"Polisi?" kata Tiara menatap sang paman.

"Silakan masuk," kata Unggul mempersilakan ketiga polisi itu.

"Apa yang mereka lakukan di sini? Paman tidak terlibat kriminal, kan?" tanya Tiara dan mendengarnya Unggul tertawa. Ia sungguh tak menyangka keponakannya itu bisa berpikir dirinya terlibat kasus kriminal padahal dalam kasus kecelakaan yang terjadi ia adalah korban, bukannya pelaku penabrakan.

"Mana mungkin pamanmu yang tampan ini terlibat kasus kriminal! Memangnya Paman ada tampang kriminal?"

"Terus kenapa polisi kemari?"

"Tiara keluar dulu, ya. Nanti Paman jelaskan," pinta sang paman.

"Tapi–"

"Apelnya kupaskan nanti saja, ada yang perlu Paman bicarakan dengan mereka," pinta sang paman dan mendengar permintaannya Tiara menurut sembari kembali meletakkan apel kemudian pergi.

Tidak, aku harus tahu untuk apa mereka kemari, pikir Tiara sekeluarnya ia dari kamar inap sang paman dan untuk kali pertama dirinya benar-benar melakukan tindakan terlarang itu, menguping pembicaraan orang tua. Tapi rasa penasaran membuat Tiara tak bisa menahan diri dan diam-diam menguping pembicaraan sang paman dengan ketiga polisi itu.

"Ada yang ingin kami tanyakan, ini berhubungan dengan kecelakaan yang menimpa Anda." Salah seorang polisi yang duduk di samping Unggul mulai mengajukan pertanyaan.

"Tanyakan saja."

"Dulu saat Anda bekerja sebagai polisi, apa Anda pernah melakukan penyergapan terhadap seorang bandar narkotika?" tanya salah seorang polisi dan mendengarnya Unggul benar-benar terkejut. Sudah lama sekali tak ada yang mengungkit profesi lamanya, apalagi soal kasus bandar narkoba yang pernah ditanganinya, tapi itu sudah lama sekali. Kejadiannya bertahun-tahun lalu saat ia masih berusia sekitar tiga puluhan dan Unggul hampir tak pernah memikirkannya lagi.

"Kalian kemari ingin menanyakan soal itu?"

"Ini berkaitan dengan pelaku."

"Pelaku?"

"Beberapa saksi mata di lokasi kejadian mengatakan mobil Jeep yang menabrak Anda sengaja melawan arah dan menabrakkan body depannya ke mobil Anda. Besar kemungkinan ini disengaja."

"Maksud kalian ada yang berniat membunuhku?"

"Sejauh ini hanya berupa dugaan."

"Lalu, apa hubungannya kecelakaan yang kualami dengan profesi lamaku?"

"Salah seorang pengawal pribadi Pak Presiden yang menangkapnya mengatakan kalau orang itu hanya orang suruhan dan orang yang menyuruhnya adalah adik dari bandar narkoba yang tewas saat penyergapan ketika Anda melakukan penangkapan beberapa tahun lalu. Kami menduga ini semacam balas dendam."

"Balas dendam? Maksud kalian dia berniat membunuhku untuk balas dendam? Tapi itu sudah lama sekali, ketika aku masih menjadi polisi."

"Dendam tak akan hilang meski waktu telah lama berlalu. Tapi itu baru dugaan, belum bisa dipastikan kebenarannya."

"Tapi kenapa?"

"Mungkin karena Anda membunuhnya?"

"Sebaiknya kalian cari tahu informasi yang benar dari atasan kalian sebelum menyimpulkan sesuatu," kata Unggul kesal karena dituduh sudah membunuh bandar narkoba itu, padahal kematian bandar itu bukan atas perbuatannya. Ia bahkan tidak benar-benar menarik pelatuknya, tapi bandar itu sudah jatuh tertembak dan tak lain dari peluru anak buahnya hingga akhirnya karena ketidakbecusannya memimpin anak buahnya ia harus menerima nasib diberhentikan dari kesatuannya dan membuatnya terpaksa melepas seragam polisinya.

"Maaf, kami–"

"Keluar dari kamarku!"

"Tapi masih ada yang–"

"Apa aku harus berteriak baru kalian akan keluar?"

"Baik, kami akan keluar, permisi."

GerimisWhere stories live. Discover now