Bagian 12

154 8 0
                                    

Entah mimpi atau halusinasi, Tiara merasa sepertinya ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan cara yang sama persis seperti kakak sulungnya. Tapi Tiara tak bisa bergerak maupun membuka mata hingga tak bisa melihat atau memastikan siapa yang memanggil namanya dengan cara seperti itu. Kemudian suara itu menghilang hingga entag berapa lama saat ia bisa membuka matanya yang pertama kali ia lihat justru Ruby. Raut wajahnya terlihat cemas dan suaranya jelas bukan suara yang tadi sempat ia dengar.

"Akhirnya, kau sadar. Kakak benar-benar khawatir," kata Ruby sembari membelai lembut puncak kepala Tiara.

"Tiara di mana?" tanya Tiara bingung saat melihat interior ruangan yang sepertinya sangat berbeda dengan kamarnya.

"Di rumah sakit."

"Apa?" tanya Tiara kaget dan seketika berusaha bangkit, tapi tiba-tiba gerakannya terhenti saat ia merasakan sesuatu menusuk pergelangan tangannya. Seketika Tiara menatap ke arah pergelangan tangannya dan sebuah jarum infus menancap di sana.

"Sudah empat hari kau pingsan."

"Aku pingsan? Empat hari?" tanya Tiara kaget, sama sekali tak mengira dirinya pingsan selama itu. "Apa yang terjadi?" gumam Tiara, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia pingsan dan seketika ingatan itu muncul, membuat perasan bingungnya lenyap berganti panik saat teringat tentang sang paman yang sedang kritis pasca kecelakaan yang dialaminya.

"Kau tiba-tiba pingsan dan sungguh Tiara kau membuatku takut" kata Ruby yang jujur saja ia sangat terkejut kalau pingsannya Tiara akan membuatnya harus menunggui adiknya itu selama empat hari, padahal ia pikir Tiara hanya pingsan karena shock dan akan segera bangun dalam beberapa jam.

"Paman ...," kata Tiara berusaha bangkit dari ranjang saat teringat tentang pamannya.

"Tenang, Paman baik-baik saja."

"Baik-baik saja?" tanya Tiara kaget.

"Tiga hari lalu Paman sadar dan sudah sejak pagi tadi Paman ribut ingin pulang."

"Tiara ingin ketemu Paman."

"Tapi kau baru–"

"Kak, Tiara pengin ketemu Paman."

***

Sementara itu, di kamarnya Unggul Suroso terlihat bersandar di ranjang dengan wajah bosan sembari menatap ke luar jendela. Sudah sejak pagi ia memaksa pulang, tapi dokter dan para suster sepertinya kompak untuk melarangnya dengan alasan lukanya belum kering, juga beragam alasan lain. Parahnya lagi, kedua adik kembarnya juga mendukung larangan dokter, benar-benar membuatnya kesal.

"Paman?" Suara Tiara seketika menarik perhatian Unggul yang langsung menoleh ke arah pintu dan melihatnya ia terkejut. Seingatnya keponakannya itu sudah empat hari tidak sadarkan diri dan kini tiba-tiba muncul di kamarnya.

"Tiara?"

"Paman udah baikan?" tanya Tiara begitu sampai di dekatnya.

"Harusnya Paman yang bertanya seperti itu. Kau empat hari tidak sadarkan diri lebih lama dari pamanmu yang mengalami kecelakaan ini," kata Unggul yang sebenarnya ingin mengunjungi Tiara saat mendengar gadis itu pingsan karena shock mengetahui apa yang terjadi padanya beberapa hari lalu, tapi ia tak bisa melakukannya ketika para petugas medis melarangnya meninggalkan kamar dan didukung oleh adik-adiknya.

"Tiara enggak apa-apa. Terus, Paman gimana?"

"Paman sudah tidak apa-apa, hanya belum diizinkan pulang," kata sang paman tersenyum menatap Tiara dan tiba-tiba ia teringat niatnya menyantap apel merah yang sejak tadi diinginkannya, tapi karena malas ia jadi harus menahan diri sampai seseorang datang untuk membantunya. Adik atau keponakannya yang lain tidak bisa disuruh-suruh dan memerintah pengawal untuk melakukannya, sama sekali bukan ide bagus. Mereka bukan akan memberinya apel dengan potongan bagus malah bisa-bisa hanya akan menyerahkan sebuah apel dalam wujud mengerikan karena para pengawal itu hanya bisa memukuli orang, bukan membentuk potongan indah untuk disajikan padanya, tidak seperti Tiara. Kini, keberadaan Tiara memberinya ide.

GerimisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang