Bagian 9

184 6 0
                                    

"Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi terhadapnya," keluh Hariadi pada sang kakak yang baru saja duduk di sofa ruang tamu kediaman pribadinya. Mendengarnya, Unggul Suroso hanya tersenyum, ia tak langsung menjawab. Ini bukan kali pertama adiknya mengeluhkan sikap Tiara yang susah diatur dan tidak mau lagi mendengar kata-katanya. Namun, Unggul tak bisa menyalahkan Tiara sepenuhnya, bagaimana pun semua ini imbas dari sikap adiknya yang tidak bisa bijaksana dalam menentukan sikap hingga mengakibatkan Tiara menjadi gadis pemberontak.

"Enam tahun aku tinggal dengannya selama di Paris dan selama itu aku merasa dia sangat menderita," kata Unggul akhirnya bicara karena tak mungkin terus menerus hanya berdiam diri dan hanya menjadi pendengar. Saat ini ia merasa perlu untuk memberi tahu adiknya apa yang harus disudahi dan apa yang harus dipertahankan. Baginya meraih cita-cita, harapan, dan impian adalah penting, tapi meraih kebahagiaan keluarga jauh lebih penting dari segalanya yang tak bisa sebanding oleh kepentingan apa pun, termasuk politik. "Aku bisa mengerti jika dia begitu marah padamu. Ayah yang sangat ia cintai justru mengusir kakaknya, itu jelas bukan hal yang bisa diterima, aku juga sependapat."

"Kakak menyalahkanku? Aku melakukan semua itu untuk–"

"Untuk apa? Harga diri? Nama baik? Jabatan politik, atau apa? Tidak ada alasan apa pun yang membenarkan seseorang mengusir putra kandungnya sendiri dan aku tak tahu asas politik mana yang kau pakai sampai membuatmu perlu mengorbankan buah hatimu sendiri."

"Kak, cukup!" kata Hariadi tak tahan lagi mendengar kata-kata sang kakak yang membuat ia merasa begitu buruk sebagai seorang ayah.

"Kau meminta pendapatku dan inilah pendapatku. Lagi pula, aku tidak bisa berhenti, kau harus mendengar semuanya dan setelah itu kau mau tetap berkeras hati atau sedikit melunak aku tak akan ikut campur lagi. Kau bukan adik kecilku lagi yang setiap berbuat salah harus kumarahi, kau sudah terlalu tua untuk mendapatkan perlakuan seperti itu dariku," kata Unggul yang sejak dulu sebagai anak tertua hampir selalu mengambil kendali atas adik-adiknya, termasuk Hariadi, adik bungsunya. Tapi, ketika sudah memasuki ranah persoalan rumah tangga ia tahu batasannya. Unggul tak bisa terlalu masuk dalam urusan rumah tangga, bahkan meski itu rumah tangga adiknya. Terlebih lagi beberapa tahun ini ia jarang di Indonesia dan lebih banyak berada di Paris sebagai seorang pengajar di sebuah universitas ternama di kota itu. Selama bertahun-tahun ia hidup cukup lama dengan Tiara hingga ia bisa mengenal baik seperti apa masalah yang dihadapi keponakannya, termasuk perubahan sifat Tiara dari gadis penurut menjadi pemberontak.

"Kak–"

"Aku bukan politisi sepertimu yang tahu caranya bersilat lidah, aku hanya bisa mengatakan apa yang aku tahu," potong Unggul yang sejujurnya sudah lama merasa karakter adik kecilnya itu telah berubah menjadi sosok menyebalkan. Bagaimana tidak? Hariadi, adik kecilnya telah menjadi pribadi yang pandai bersilat lidah, mencari pembenaran atas segala sikapnya di balik kata martabat dan sungguh ia sudah muak dengan semua itu. Namun, ia tak bisa mengatakan dengan mudah ketika yang bermasalah adalah ayah dan anak hingga selama bertahun-tahun Unggul memilih diam. Kini, saatnya ia bicara karena entah kapan lagi Unggul bisa mengatakan semuanya ketika ia bisa bersama dengan adiknya tanpa gangguan dari orang-orang di sekitar yang bisa jadi akan menjadi pengacau untuk pikiran adiknya.

"Apa Tiara mengatakan sesuatu pada Kakak yang aku tidak tahu?"

"Soal itu aku tidak tahu pasti, tapi ada satu hal yang aku tahu yang tak akan pernah dia katakan padamu."

"Apa?"

"Dia telah kehilangan ayahnya."

"Maksud Kakak apa?"

"Ya, kau memang masih hidup, tapi bagi Tiara kau sudah mati. Ayah yang penuh cinta dan lembut sudah tidak ada lagi, sekarang hanya ada arogansi pada sifatmu dan bagi Tiara itu bukanlah sifat ayahnya karena dari arogansi itu dia kehilangan ayah juga kakak tersayangnya."

GerimisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang