Sejak mengusir putra tertuanya semenjak hari itu ia tak pernah lagi bicara dengan Tiara. Dulu ia pikir kemarahan putrinya hanya karena marah atas tindakannya, tapi ternyata ia salah. Gadis kecil itu telah menganggapnya mati dan perlahan telah mengubahnya sampai saat ini hingga sampai hati beberapa tahun lalu Tiara meninggalkan Jakarta demi tinggal di Paris bersama kakak tertuanya yang bahkan kini jauh lebih dekat dengan putrinya daripada ia, ayah kandungnya sendiri.

"Aku tidak tahu kalau sikapku akan membuatnya berpikir seperti itu. Andai aku bisa menjelaskannya, menjadi politisi–"

"Harus banyak yang dikorbankan," lanjut Unggul yang sudah tahu kata-kata apa yang hendak keluar dari mulut adiknya.

"Kak, jangan hakimi aku seperti ini."

"Aku tidak menghakimimu, aku hanya mencoba meluruskan cara pandangmu. Para pejuang kita dulu tidak ada yang menghancurkan perasaan hati anak-anaknya untuk sebuah perjuangan, kau tahu kenapa? Mereka berjuang untuk negara, bukan singgasana."

"Kak ...."

"Kau sedang memperjuangkan jabatanmu, bukan negaramu karena jika negara yang kau perjuangkan keluargamu tidak akan menderita. Satu-satunya yang sengsara hanya para politisi yang akan membangkang padamu, selebihnya semua orang bahagia."

Bahagia adalah satu kata sederhana, tapi belakangan begitu sulit terucap dari mulutnya. Rasanya Hariadi sudah lama sekali tak pernah bisa mengatakan satu kata itu karena yang ada dalam benaknya adalah beban hidup, penderitaan, dan juga tekanan, terlebih sejak ia menduduki posisi orang nomor satu di Indonesia. Dulu ia begitu bangga bisa mewarisi jabatan ayahnya yang membuat sang ayah begitu disegani, bahkan meski tidak lagi menjadi pejabat, tapi sayangnya keadaan Hariadi berbeda dengan ayahnya, ia harus menghadapi keadaan yang bahkan tak pernah ia bayangkan akan menimpa keluarganya.

"Apa selama ini hal itu yang ada dalam pikiran Kakak?"

"Iya, karena itu aku tidak mendukungmu dalam jabatanmu. Aku tidak mau menjadi pendukung politisi serakah, bahkan dulu jika ayah berlaku sama sepertimu aku juga tidak akan segan angkat kaki dari rumah."

"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana."

"Lepaskan saja jabatanmu kalau itu berat. Jika memang harus dipertahankan lakukan dengan cara yang benar, bukan seperti ini. Keluarga adalah martabatamu, mahkotamu, dan hartamu, bukan jabatan atau posisimu saat ini. Kau tak akan bahagia dengan menjadi politisi, tapi kau akan bahagia saat menjadi seorang negarawan yang memperjuangkan negara bersama dukungan keluarga, seperti ayah kita," kata Unggul akhirnya menyampaikan semua yang ada dalam pikirannya kepada sang adik dan tentu saja itu akan mengejutkan bagi Hariadi karena selama ini kakaknya tak pernah sekali pun menceramahinya tentang politik atau bagaimana seharusnya ia memperjuangkan posisinya. Ini pertama kalinya bagi Hariadi dan cukup mengejutkan.

"Kak Unggul? Kapan datang?" kata Rahayu yang mendadak muncul dan melihat adik iparnya itu Unggul tersenyum.

"Sudah lumayan lama, kenapa?"

"Sejak semalam Tiara tidak pulang, ditelepon juga enggak diangkat."

"Sepertinya dia menginap di apartemen Adit."

"Di apartemen Adit?" tanya Rahayu terkejut karena biasanya putrinya itu selalu pulang ke rumah dan jarang menginap di apartemen Adit, apalagi sampai tidak pulang ke rumah. Tapi, belakangan ini putrinya itu memang benar-benar semakin jauh darinya dan juga suaminya yang selalu menggunakan pekerjaan sebagai alasan.

"Iya dan sepertinya itu karena suamimu berada di rumah."

"Aku?" kata Hariadi.

"Seperti yang kukatakan tadi, pikirkan baik-baik," kata Unggul seraya bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar pintu, tapi langkahnya terhenti tiba-tiba saat ia teringat pada apa yang sempat dibicarakan salah seorang temannya kemarin malam. " Oh ya, aku hampir lupa. Putra Wijaya Rahardi, dia sedang berusaha mendekati putrimu, dan saat ini emosi Tiara sedang berada di ubun-ubun. Jangan mengabaikan sesuatu yang bisa kau cegah, oke?" kata Unggul menyampaikan kekhawatirannya dan berlalu pergi yang saat itu ucapannya membuat Hariadi terdiam seketika. Ia memang tahu kalau belakangan emosi putrinya sedang meledak-ledak, bahkan masalah kecil di rumah ini bisa menjadi besar dan hanya saat bersama teman-temannya Tiara tidak melepaskan emosinya, tapi ia tak yakin jika berhadapan dengan putra Wijaya Rahardi putrinya tetap bersikap lunak. Tanpa diperingatkan Hariadi sebenarnya sudah tahu kalau putra dari koleganya itu memang berniat mendekati putrinya demi mengamankan jabatannya, hanya saja Hariadi bersiap seolah tak tahu apa-apa. Tapi, peringatan sang kakak membuatnya tak bisa mengabaikan hal itu dan sepertinya ia harus menghentikan pemuda itu sebelum dia menjadi sasaran kemarahan putrinya.

"Anak muda itu, aku harus memperingatkannya!"

***

Sementara itu, persiapan fashion show semakin menyibukkan Tiara. Kegiatan promosi, pemotretan hingga persiapan busana yang akan ditampilkan dalam ajang fashion show itu kian membuat Tiara sibuk. Tiara hampir tak punya waktu memikirkan hal lain di tengah kesibukannya dan beberapa hari ini ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor, termasuk memperhatikan persiapan para model yang akan tampil di fashion show-nya nanti. Raka juga sering menghabiskan waktu bersamanya dan mereka menjadi cukup dekat karena hampir setiap waktu dirinya bersama dengan Raka karena secara khusus Tiara harus menyiapkan Raka untuk ajang fashion show-nya.

Bagaimana pun Raka sudah cukup lama tidak mengikuti ajang fashion show selepasnya dari Sun Agensi dan ini membuatnya harus kembali beradaptasi, apalagi Akira Mode memiliki cara kerja dan konsep yang tidak bisa disamakan dengan perusahaan mode lainnya. Di sini proses produksi mulai dari nol dilakukan, terlebih lagi Akira Mode bukan sekadar perusaahaan dengan produk busana, tapi bahan baku dari setiap rancangannya juga diproduksi di sini dan sedikit juga dijual bebas di pasaran hingga cukup banyak produk yang dihasilkan sampai pekerjaan marketing perusahaan menjadi yang paling berat di Akira Mode.

Hingga tak heran ketika persiapan fashion show mulai dilakukan begadang hingga menginap di kantor bukan hal asing lagi. Termasuk malam itu, ketika Tiara dan orang-orangnya baru menyelesaikan pekerjaan mereka menjelang pukul sebelas malam saat perusahaan lain sudah berjam-jam lalu memulangkan karyawannya, tapi Akira Mode masih terlihat sibuk dengan aktivitas pekerjaan mereka dan baru sekitar pukul sebelas para karyawan mulai bisa meninggalkan perusahaan.

"Kalian cepatlah pulang, besok kita punya banyak pekerjaan," pamit Tiara sembari menatap Adit dan Raka yang baru menyelesaikan pekerjaan.

Sebenarnya jadwal pemotretan dan latihan para model sudah selesai sekitar pukul delapan tadi, tapi Raka masih tetap tinggal untuk membantu pekerjaan Adit yang cukup menyita waktu, apalagi dia punya cukup kemampuan editing foto selain sekadar menjadi model. Sayangnya karena ia masih merasa kemampuan editingnya kalah jauh dengan Adit ia tak terlalu percaya diri melakukannya dan jika bukan karena Adit memintanya barang kali ia tidak akan berani memperlihatkan kemampuannya di bidang editing itu.

"Kau mau pulang ke rumah atau tidur di apartemenku?" tanya Adit kemudian.

"Ke rumah deh kayaknya, soalnya ada beberapa barang yang aku butuhin di rumah."

"Oke deh, hati-hati, ya."

"Beres. Ya udah, balik dulu, ya. Oh ya, Raka, besok pemotretannya di luar gedung, jadi mending kamu berangkat bareng Adit, dia yang tahu lokasinya."

"Oke."

"Oke. Semuanya, aku balik dulu," kata Tiara berpamitan dan saat itu ponsel Adit berdering. Tapi meski demikian, Tiara tidak berhenti dan tetap berjalan menuju pintu keluar, tapi tiba-tiba Adit berteriak memanggilnya. Saking kerasnya suara Adit sampai membuat Tiara kaget. Ia pun sontak berbalik dan saat itu ia melihat Adit berlari ke arahnya dengan wajah yang terlihat panik.

"Ada apa?" tanya Tiara heran.

"Kita harus ke rumah sakit."

"Apa?" tanya Tiara bingung.

"Ayah kecelakaan."

"Siapa?" Tiara kaget saat mendengar pamannya yang baru sudah beberapa minggu ini tak sempat ia temui, padahal pagi tadi sang paman sempat ke apartemen Adit, tapi sayangnya ia sudah berangkat ke kantor saat sang paman tiba di sana. Akhirnya, ia hanya bisa bicara dengan pamannya di telepon dan berjanji akan menemuinya besok atau lusa di waktu makan siang.

"Aku serius, Tiara. Tadi itu telepon dari Paman Hari, dia memintaku segera mencarimu dan pergi ke rumah sakit."

"Enggak mungkin," kata Tiara segera berjalan menuju tangga lift yang ada di dekat pintu aula dengan perasaan cemas.

"Kecelakaannya beberapa menit lalu."

"Aku numpang mobilmu, Raka biar bareng sama sopirku, boleh?"

"Oke."

"Biarkan aku ikut," kata Raka yang jelas tak akan membiarkan sahabatnya itu menghadapi keadaan seperti ini sendiri. Maka berangkatlah malam itu mereka bertiga ke rumah sakit tempat Unggul Suroso dirawat.

GerimisWhere stories live. Discover now