"No, Tiara! Tidak untuk yang satu ini."

"Kenapa tidak?"

"Dia adiknya Raka, kau tak bisa seenaknya."

"Baiklah, akan kutunggu dia dewasa. Aku tidak suka mengabaikan potensi."

"Sudah kuduga akan begini," kata Adit yang ucapannya membuat Raka bingung.

"Apa?"

"Nanti, tidak sekarang," kata Adit yang merasa tidak tepat membicarakan hal ini saat sedang makan malam, apalagi Tiara terlihat begitu senang bisa makan malam dan bersenang-senang setelah beberapa bulan hampir tak ada waktu untuk memanjakan dirinya sendiri.

"Kupikir kalian baru akan tiba setengah jam lagi," kata Daniel yang baru saja tiba dan kaget melihat Tiara sudah sampai padahal jarak rumah Tiara ke tempat ini lebih jauh darinya.

"Tiara mengemudi seperti orang kalap, jelas saja cepat sampai," sindir Yudha kesal karena harus menjadi penumpang dari mobil yang dikendarai dengan kecepatan tinggi di tengah kepadatan lalu lintas Jakarta-Bandung. Tapi mendengar sindiran Yudha, Tiara hanya tersenyum.

"Permisi."

Seorang pelayan datang membawa beberapa gelas minuman dan hidangan malam malam. Ada ayam bakar, gurami bakar serta beberapa menu seafood disantap oleh orang-orang yang hadir dalam ruang berukuran besar itu. Sesekali lelucon meluncur dari mulut para asisten yang disambut gelak tawa. Suasana benar-benar ceria dan Tiara yang sudah hampir tak pernah merasa seceria hari ini sangat menikmatinya. Tapi suara ponsel menghentikan tawanya sejenak dan Tiara meraih ponselnya yang ternyata panggilan telepon dari ayahnya. Tiara sebenarnya sedang tidak ingin menjawab telepon dari ayahnya dan suasana tak mendukung untuk ia membiarkan ponsel itu terus berdering hingga mengacaukan makan malam.

"Sebentar," kata Tiara beranjak meninggalkan ruangan dan menjawab panggilan itu.

"Ada apa Papa meneleponku?" tanya Tiara setibanya di luar ruangan yang langsung disambut suara sang ayah yang terdengar dari saat ia menempelkan ponsel di telinganya.

"Ini sudah malam, pulanglah. Papa ada di Kuningan."

"Tidak."

"Tiara ...."

"Tiara sedang bersama teman-teman."

"Tiara–"

"Tiara tutup dulu."

"Mau sampai kapan kau terus seperti ini?" Suara kencang sang ayah menyentak kaget Tiara hingga niatnya untuk menutup telepon akhirnya urung. "Papa sudah tidak bisa tinggal diam lagi, apa kau akan terus seperti ini pada Papa?" lanjut sang ayah dengan nada suaranya yang agak melunak, sementara Tiara hanya diam mendengar kata-kata ayahnya. Ia sedang tak ingin berdebat apa pun dengan ayahnya. Tapi sepertinya sang ayah tak memahami hal itu dan terus saja membicarakan hal-hal yang tak ingin dibicarakannya."Papa tahu kau marah atas apa yang Papa lakukan pada kakakmu tapi jangan seperti ini caranya, bagaimana pun aku ini ayahmu, kau tidak–"

"Kalau begitu sama," potong Tiara.

"Apa?"

"Bagaimana pun dia adalah putra Papa dan tidak seharusnya Papa berbuat demikian," kata Tiara membalikkan kata-kata sang ayah.

"Kenapa kau selalu membalik kata-kata Papa?"

"Karena Papa selalu menuntut hal yang sama, tapi tak pernah bisa Papa lakukan."

"Tiara cukup!" Nada kencang sang ayah kembali terdengar dan perlahan rasa sedih, amarah mulai menembus hati Tiara yang mulai terasa kacau.

"Papa yang cukup, cukup untuk menuntut Tiara dan cukup dengan keegoisan Papa," balas Tiara dan sejenak suara sang ayah pun menghilang. "Jika Papa ingin Tiara kembali seperti dulu maka Papa harus bawa Kakak kembali ke rumah."

GerimisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang