11. Relentless

16.7K 1.5K 602
                                    

Relentless /rɪˈlɛntləs/ 

unceasingly intense. harsh or inflexible.

.

.

.

.

.

.

.

Jungkook terbangun dengan perasaan kelu, pertama-tama terasa di wajahnya, lalu merambat ke bahu, kaki tangannya, dan yang paling parah ternyata berasal dari pinggulnya. Anak itu berbaring menyamping sambil merintih. Ia memegangi perutnya, perasaan melilit belum meninggalkannya, sama seperti yang diingatnya sebelum jatuh. Sepertinya ia tertidur cukup lama. Sudah berapa banyak waktu berlalu? Hitungan jam? Hitungan hari?

Saat membuka mata dan melihat Arthur duduk di dekatnya sambil menunduk menatapnya, teringat lagi kejadian sebelum ia hilang kesadaran dan itu membuat Jungkook termegap— hampir melontarkan makian.

Masih tergores jelas ingatan dalam benaknya, bagaimana cara Arthur duduk dengan angkuhnya, menatap dengan remehnya, sementara Jungkook dihajar habis-habisan dan dihina di tengah keramaian.

Sudah ada seribu kata tidak senonoh yang dipelajarinya dari Julien dan Martin, siap meluncur dari bibirnya. Tapi kemudian anak itu kehilangan kata-kata. Mulutnya termegap, menutup dan terbuka. Mungkin karena terlalu marahnya, atau mungkin karena ia tidak berani berharap apa-apa. Arthur bahkan membiarkannya dipukuli dan disoraki. Apa lagi yang diharapkannya?

"Aku tidak dibuang ke jurang sekalian?! Tidak dikubur hidup-hidup di gunung?!" serunya emosi, airmatanya berlinangan lagi. Ia mencoba bangun dan duduk, tapi urung saat sadar kepalanya terasa berat.

"I see what Jean means now."

Suara wanita membuat Jungkook tersentak, baru sadar ia tidak hanya berdua di ruangan itu. Ada Jean... dan seorang wanita lagi. Mengenakan jas putih dokter berdiri di sisi pintu.

Wanita dewasa yang cantik, tubuh tinggi dan rambut cokelatnya yang panjang sebahu mengingatkan Jungkook pada rambut Arthur. Wanita itu tampak lebih dewasa dibanding Jean, wajah keibuannya dan senyum yang tidak lekang dari bibirnya membuat Jungkook termegap, tiba-tiba malu pada dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia marah-marah dan berteriak dengan tidak sopannya di depan wanita ini.

"Kau mau es krim, birdie? Biasanya membantu sakit di bibir yang memar." Jean menawari tanpa menunggu, langsung keluar sebentar dan kembali lagi membawa satu stik eskrim stoberi.

Jungkook kebingungan. Harus marah atau berbaring diam menunggu sakit di tubuhnya hilang. Ia ingin melampiaskan kekesalannya, tapi ruangan asing ini bukan kamarnya, bukan pula rumah Arthur. Dengan canggung anak itu menerima bantuan Jean untuk duduk, pelan-pelan, dipapah bangun selayaknya anak yang sedang demam. Karena itu juga Jungkook tidak bisa menolak saat Jean mengoper stik eskrim itu ke tangannya.

Agak bingung dijilatnya eskrim itu, yang kemudian membantunya menghadapi rasa tegang dipandangi tiga pasang mata. Tapi setiap kali matanya bertemu mata Arthur, hatinya seperti diiris lagi. Bahkan eskrim yang manis dan dingin tidak membantu.

"Kau mengaduku seperti anjing Arthur—" Jungkook terisak-isak, sambil menelan susah payah bulir eskrim manis yang sesungguhnya enak itu. Sebelah matanya berat, mungkin karena bengkak yang tidak bisa dilihatnya. Kini kedua matanya terasa lebih berat lagi karena airmata, dan memar di wajahnya merongrong pedih saat tetesan panas itu melintas di pipinya turun ke rahang.

Criminal Minds - BravenWhere stories live. Discover now