26 - Jatuh Cinta Sebagai Hujan Seutuhnya

Start from the beginning
                                    

"Ehehe... Ehehe... duh galaknya, padahal saya cuma becanda..."

"Bisa tidak yang serius?"

"Loh, jadi kamu ingin saya tidak bercanda soal pelukan tadi? Kamu inginnya saya serius?"

Entahlah siapa yang biacaranya kurang jelas, atau siapa yang keterlaluan bodoh disini. Satu hal yang jelas, Sena mulai geregetan dengan cara Dika memutar-mutar arah percakapan, membuat topik serius menjadi candaan, memperpanjang dialog karena seringkali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. "Jawab pertanyaan tadi, atau aku turun di stasiun selanjutnya!" Sena mengancam. Ada raut penuh kemenangan di wajahnya ketika Dika buru-buru menjawab. "Oke, kamu benar. Alasan yang sebenarnya lebih dari itu."

"Yang lengkap! Jangan setengah-setengah!" paksa Sena.

"Saya merasa bersalah karena sudah bikin repot kamu, Pram, Mas Gani, Epeng, Mas Adji, Ratih juga... ada kesempatan liburan, tapi kalian malah temani saya, malah sedih-sedihan sama saya. Jadi, sebagai penebus rasa bersalah sekaligus sebagai ucapan terima kasih, rasanya kata-kata saja tidak cukup, dan pikir saya, mungkin ajak kalian semua liburan ke Jakarta akan lebih pantas? Mumpung masih ada sisa waktu sebelum tahun ajaran baru..."

"Hm... bisa diterima sebagai alasan kedua."

"Memang kelihatannya ada lagi?"

"Di rumah tadi, kamu bilang sendiri kalau ini spesial buatku. Karena itu juga aku adalah satu-satunya yang nggak tahu tentang rencana ini padahal sudah disusun sejak lima hari lalu. Jadi pasti ada alasan ketiga yang spesifik, yang ada hubungannya langsung dengan aku?"

Dika menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal, melakukan gestrur serba ragu-ragu. Ah, Dika lupa kalau hal bernama alasan selalu saja bisa membuat si acuh itu seketika menjelma menjadi sosok yang sangat ingin tahu. Dan sekarang, artinya tidak ada pilihan bagi Dika selain mengaku. "Saya ingin antar kamu cari Senja. Saya berharap bisa bantu kamu ketemu dia."

Saling diam terjadi kembali. Sebuah nama dalam kalimat Dika secara otomatis membuat kelu lidah Sena. Lebih dari itu, hatinya pun mendadak ngilu. Mencari Senja dengan menyambangi Jakarta mungkin menempati urutan pertama dari daftar cara menuntaskan rindu yang ada di sudut pikiran terliar Senandung Kasturi. Bahkan sejujurnya, tidak sebatas dipikirkan, tetapi Sena juga pernah berusaha mengumpulkan sisa-sisa uang saku untuk tabungan perjalanan. Hanya saja ujung-ujungnya uang itu seringkali ikut terpakai karena banyaknya kebutuhan tidak terduga. Lalu karena pesimis sendiri, perlahan Sena memendam ambisi satu itu dan lebih memilih cara yang masih memungkinkan yaitu mencoba menghubungi semua kontak Senja yang ia punya. Meskipun pada akhirnya semua percobaan tersebut harus gagal dan sampai sekarang Senja belum juga kembali. Dada Sena sesak, berdenyut-denyut pilu. Terlepas dari rindunya yang selalu ingin menemukan Senja sebagai tempat berlabuh, sekarang Sena merasa gamang dengan perjalanan ini perkara satu, perkara Dika-lah yang mengantarkannya seakan lupa kemana ini akan menuju.

Hela napas berat terdengar lirih, itu berasal dari Dika. Ia paham mengapa Sena mendadak diam membisu. Jelas Dika tahu dilema apa yang membuat Sena sangat terganggu. Dan sungguh, Dika menyalahkan dirinya sendiri karena telah menciptakan kebingungan itu juga karena sudah membuat Sena merasa jahat di setiap pembahasan yang melibatkan posisi dua nama: Dika dan Senja. Harusnya saya tetap temani Nana pas di atas rumah sakit waktu itu, tetap disampingnya, bukan malah kabur ke bawah. Harusnya saya nggak pernah tunjukkan kesakitan saya seberapa parah pun itu. Tidak seharusnya Nana merasa bersalah karena pilihannya untuk setia... Dika membatin. Menyesali titik kesalahan kecil yang andai saja dapat ia hindari, mungkin jalan cerita tidak akan berjalan serumit ini.

Tapi, apa gunanya berandai-andai di detik ini? Bukankah semua sudah terlanjur terjadi dan ia sama sekali tidak punya kekuatan atau alat canggih untuk memutar waktu kembali? Jadi, yang dapat dilakukan sekarang adalah menghadapi. Mengurai kerumitan dengan perlahan dan hati-hati. Atau mungkin mencoba satu alternatif lain: mengulang dari awal dengan membuat perbedaan.

"Bisa tidak, Na, kamu anggap saya tidak pernah memintamu buat jadi pacar?" Dika angkat suara. Lirih, tapi masih dapat tertangkap indera pendengar lawan bicara. Gadis yang beberapa saat tadi sempat menunduk itu kini mengarahkan sorot sepenuhnya pada Dika. Menunggu Dika meneruskan kalimatnya yang masih setengah. "Semakin kesini saya sadar, ada yang keliru, Na. Saya mungkin mampu jatuh berkali-kali, tapi saya masih bukan hujan sempurna karena nyatanya belum bisa sepenuhnya jatuh tanpa berharap apa-apa."

Terdengar mirip dengan isi surat yang ia temukan disaku kemeja seragam saat malam sebelum ia menghampiri Dika ke pasar malam untuk ikut ngamen bersamanya. Sena ingat betul bagaimana hatinya terenyuh meski ia tak membiarkan siapapun tahu. Sejak pertama membaca puisi singkat itu sampai saat ini, Sena sama sekali tidak berpikir ada yang keliru atau dilebih-lebihkan. Dan ia benar-benar tak paham mengapa Dika sampai berpikiran begitu? Mengapa laki-laki itu justru mengambil alih rasa bersalah yang harusnya ia hadapi. Sena berharap dapat melontarkan sesuatu yang akan sedikit membantu meringankan hati Dika, tetapi, masih saja seperti sebelum-sebelumnya, Sena malah kehilangan semua kosakata yang sudah bertahun-tahun ia pelajari.

Percakapan ini terasa berat sampai membuat punggung lelah. Sebab yakin Sena merasakan hal yang sama, Dika meluruskan duduknya agar dapat menempelkan punggung ke sandaran kursi. Selanjutnya, ia membawa Sena agar bersandar pada pundaknya kemudian menyambung. "Kalau boleh saya minta satu kesempatan, Na... saya ingin ungkapkan perasaan tanpa satu pertanyaan yang bikin saya terlihat sangat ingin memiliki itu. Anggap ini adalah awal, dimana kamu dengar saya bilang sejujur-jujurnya kalau saya cinta kamu. Cukup satu kalimat yang berhenti pada tanda titik pasti. Tidak ditambahi dengan harapan apa-apa lagi, juga tidak akan diurangi oleh apapun pilihanmu nanti, termasuk kalau itu berarti saya yang harus pergi."

💧Lovakarta💧

Ayii: Jakarta! Kami datang! (Auto nebak-nebak pasti😂)

Beri aku angka yang bisa menggambarkan rasanya jadi Kaka, yang harus mengantar Nana--orang yang dicintai--mencari cinta lamanya? 10? 100? 1000? ...

Ngomong-ngomong...

Apa yang langsung terpikir dikepalamu kalau kuberitahu, "Part selanjutnya Lovakarta #2 sudah tamat!"

LovakartaWhere stories live. Discover now